Pola-pola work from home (WFH) dan work from office (WFO) atau paduannya (hybrid) bukanlah hal baru di dunia kerja.
Sejak sebelum pandemi Covid-19 (2020-2022), dunia kerja sudah menerapkannya. Kendati sifatnya terbatas, atau kondisional.
Contohnya, putting out system atau maklon dalam industri garmen. Itu tergolong WFH. Para perajin bekerja di rumah masing-masing mengerjakan satu bagian dari pakaian, misalnya bordir pada krah. Tidak perlu hadir di pabrik garmen.
Contoh lain, ghost writer. Cukup beberapa kali bertemu muka dengan klien. Selebihnya, duduk menulis di rumah.
Tapi harus diakui, Pandemi Covid 19 telah membuat WFH, untuk waktu yang cukup lama, sempat menjadi pola kerja dominan. Tujuannya membatasi intensitas mobilitas dan interaksi fisik di ruang publik, untuk menekan penularan Covid-19.
Memasuki tahun 2022, saat pandemi mulai surut, pola WFO secara bertahap diberlakukan lagi. Masuk ke tahun 2023, seiring penghapusan status pandemi, pola WFO penuh diberlakukan kembali.
Sebenarnya, kembali ke WFO itu wajar. Kehadiran pekerja di tempat kerja lebih mendukung produktivitas, khususnya di sektor riil.
Persoalannya kemudian, terjadi gejala resistensi atau inersia sosial. Para pekerja yang sudah kadung nyaman dengan pola WFH, cenderung menolak untuk kembali WFO.
Kembali ke pola WFO sejatinya adalah kembali pada kenormalan ruang dan waktu. Setelah selama WFH para pekerja dan anggota keluarganya mengalami abnormalitas ruang dan waktu. Suatu gejala yang tak sehat secara sosiologis dan psikologis.
Saya akan coba jelaskan permasalahan itu. Sehingga nanti, mudah-mudahan, menjadi terang alasannya, mengapa kita harus kembali ke pola WFO.