Going native.
Pernah mendengar frasa itu? Itu istilah dalam riset sosial kualitatif.
Artinya, dalam konteks riset, menyatu jadi subyek warga dalam satu komunitas yang sedang diteliti.
Contohnya begini. Poltak meneliti satu komunitas Jawa di sebuah dusun di Jawa Tengah. Untuk mendapatkan data, dia melibatkan diri secara intens dalam kehidupan komunitas itu.
Sedemikian intens keterlibatannya. Sehingga Poltak, dan warga komunitas, mengidentifikasi dirinya sebagai "orang dalam", warga setempat.
Tidak ada lagi jarak sosial. Poltak kehilangan identitas dan kesadarannya sebagai "orang luar" yang sedang meneliti.
Itu contoh fiktif, ya. Bukan kejadian yang sebenarnya.
Lantas apa untung-ruginya going native?
Untungnya, jika seseorang diterima menjadi warga satu komunitas, maka banyak informasi "orang dalam" yang bisa digalinya. Misalnya soal aib tokoh-tokoh komunitas. Informasi semacam itu lazimnya tak diceritakan kepada "orang luar".
Ruginya, untuk konteks riset, subyektivitas periset menjadi terlalu tinggi. Sebegitu tingginya, sehingga laporan risetnya menjadi kata "orang dalam", subyek tineliti. Bukan kata "orang luar", subyek peneliti.