Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait jalan menuju ketahanan pangan berbasis beras telah mengalami perubahan signifikan.
Pada periode pertama pemerintahannya (2014-2019), Jokowi menekankan kemandirian petani dalam produksi benih. Implikasinya, produksi beras didasarkan pada benih padi inbrida.
Tapi memasuki periode kedua (2019-2024), seiring fluktuasi produksi beras yang berakibat impor, Jokowi berkomitmen mendorong transisi ke pertanian padi hibrida. Padi hibrida dianggap solusi peningkatan produksi beras nasional.
Perubahan komitmen itu logis. Indonesia dan dunia memang sedang menghadapi kendala besar dalam produksi pangan menuju 2050.
Ada empat kendala tak terelakkan. Keterbatasan lahan, keterbatasan air irigasi, kelangkaan sumberdaya takterbarukan (implikasi konversi pangan ke bio-energy), dan perubahan iklim global.
Tanpa langkah transisi tadi, Indonesia berisiko mengalami produksi/ketersedian pangan rendah. Selanjutnya, kerawanan bahkan krisis pangan.
Penurunan Laju Kenaikan Produktivitas
Risiko kerawanan pangan sudah terindikasi dari tren penurunan laju kenaikan produktivitas padi nasional tahun 1975-2020.
Dalam periode 1975-1990 rerata laju kenaikan produktivitas tercatat 3.28% per tahun. Angka itu turun drastis menjadi 0.79% dalam periode 1991-2010 dan menjadi 0.25% untuk periode 2011-2020.
Penurunan itu terjadi karena, pertama, penggunaan varietas unggul benih (VUB) padi inbrida bersertifikat stagnan pada angka 50% dan didominasi VUB "lama". Setengahnya lagi varietas lokal produktivitas rendah.
Kedua, diversitas genetik padi inbrida terbatas sehingga peningkatan potensi hasilnya sudah sangat sulit.