Nanti malam umat Kristiani senusantara, Katolik dan Protestan, akan bersukaria dalam ibadah Malam Natal, merayakan hari kelahiran-Mu.
Tapi ada umat-Mu di Maja Lebak yang tak diizinkan bupatinya merayakan Natal. Sebab mereka hendak merayakannya di gedung bukan-gereja. Di Maja belum ada satupun gereja berdiri.
Titah bupati, perayaan Natal harus di gedung gereja yang berizin. Karena itu, katanya, pergilah ke Rangkasbitung. Di sana ada gereja Katolik, Kristen Pasundan, Gereja Bethel Indonesia, dan Gereja Pantekosta. Rayakanlah Natal di sana.
Ah, bupati Lebak mungkin lupa. Umat Kristiani bukan hanya Katolik, Kristen Pasundan, Bethel, dan Pantekosta. Tapi ada juga Kristen Indonesia, Kristen Jawa, Kristen Batak, dan sebagainya. Di manakah mereka akan merayakan hari kelahiran Tuhannya?
(Ah, tetiba aku teringat akan Multatuli, yang melaporkan Bupati Lebak kepada residen, kemudian kepada gubernur jenderal Hindia Belanda, atas kekejian sang bupati memeras rakyatnya.)
Larangan merayakan Natal di Maja bukan yang pertama. Hal serupa pernah terjadi di Sumatera Barat dan Lampung. Dan mungkin di tempat-tempat lain yang tak diwartakan. Seakan-akan perayaan Natal itu adalah revolusi, subversi, teror, atau anarki yang akan menggoyahkan sendi-sendi kerukunan antar umat beragama.
Aku terkenang akan perayaan Natal mahasiswa Kristiani di Babakan Fakultas dan Babakan Tegalmangga Bogor awal delapan-puluhan. Hampir seluruh warga babakan itu umat Islam. Tapi mereka mengizinkan para mahasiswa Kristiani merayakan Natal di lapangan sepakbola kampung. Anak-anak mereka dibolehkan menonton. Tanpa rasa takut akan kristenisasi dan kemurtadan.
Tak bisakah bupati Lebak atau bupati-bupati lain, atau kita, belajar dari kearifan warga kampung tahun depan-puluhan? Bahwa pelarangan ibadah itu adalah anti-kerukunan, dan pengizinan ibadah itu adalah harmoni?
Tapi jika para penguasa tetap tegar tengkuk melarang perayaan Natal di tempat bukan-gereja di wilayah kuasanya, maka kepada siapakah kami harus mengadu dan meminta izin?
Hanya kepada-Mu, ya,Tuhan. Hanya kepada-Mu kami mengadu dan memohon. Izinkanlah kami merayakan Natal, hari kelahiran-Mu. Sekali saja, sekali dalam setahun. Hanya merayakan kelahiran Natal, bukan mencobai umat lain.