"Dalam suatu pertandingan sepakbola pemain berhak menang tapi penonton berhak senang." -Felix Tani
Apa jadinya jika dalam sebuah pertandingan sepakbola kedua tim sama-sama menerapkan strategi bertahan? Monoton dan membosankan.
Pemain akan bergantian menumpuk di daerah pertahanan. Lapangan tengah jadi "wilayah tak bertuan". Karena pemain kedua tim lebih suka mengirim bola-bola panjang ke daerah pertahanan lawan. Entah itu umpan silang, through pass, atau cut back dari pojok lapangan.
Mungkin, bahkan sangat mungkin, itulah yang akan terjadi pada laga semifinal Piala Dunia 2022 antara Maroko dan Prancis, besok Kamis dini hari (WIB).
Didier Deschamps pasti sudah mempelajari strategi bermain Maroko secara seksama. Lalu menyiapkan strategi peredamannya.
Seperti apa itu?
Begini. Maroko tidak akan mengubah strategi bermainnya saat melawan Prancis besok subuh. Walid Regragui, pelatih Maroko akan mengulang strategi bertahan yang sama. Sebab sudah terbukti strategi itu mengantar Maroko sampai ke semifinal tanpa terkalahkan.
Barangkali, dengan formasi 4-3-3 yang diterapkan dalam lima laga terdahulu, strategi bertahan Maroko itu adalah perpaduan Gerendel (Catenaccio) Helenio Herrera (Italia) dan Parkir Bus Jose Mourinho. Yang membedakan dua strategi bertahan ini adalah peran libero. Pada pertahanan Gerendel, libero adalah "tukang sapu" antara kiper dan bek. Dalam pertahanan Parkir Bus, libero berperan juga sebagai inisiator serangan balik.
Baik pertahanan Gerendel maupun Parkir Bus pada dasarnya mengunci gerak serangan lawan secara "man marking" -- bisa satu lawan satu, bisa juga keroyokan. Tujuannya mencegah bola mendekati kotak kiper, sehingga lawan sulit menciptakan gol.
Pertahanan Gerendel/Parkir Bus lebih mengutamakan "tidak kebobolan" ketimbang "membobol banyak". Satu gol yang diciptakan lewat serangan balik kilat, cepat dan bertenaga, cukup sudah. Setelah itu tim akan mati-matian bertahan agar tidak kebobolan. Jika perlu, masukkan semua pemain tipe bertahan ke lapangan.