Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Membaca Dee Lestari dalam Satu Seperempat Jam

Diperbarui: 23 November 2022   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dee Lestari, penulis (Foto: gramedia.com)

Tak satupun novel Dee Lestari yang pernah kubaca.  Tak satupun.  Jujur.

Aku ingat beberapa judul. Supernova, Perahu Kertas, dan Filosofi Kopi.  Karena menjadi perbincangan hangat.  Tapi tak satupun pernah kubaca.  Hanya ingat sampul depannya.

Bukan karena aku tak suka baca novel. Bukan. Aku baca sejumlah novel klasik. Juga novel-novel anggitan penulis berbagai negara. Penerbit Yayasan Obor Indonesia menerbitkannya dalam bahasa Indonesia.

Tapi novel-novel (Dewi) Dee Lestari?  

Ah, dulu aku lebih suka mendengar lagu-lagunya bersama Rida dan Sita dalam grup Rida-Sita-Dewi (RSD).  Antara Kita, itu yang paling aku ingat.  Dulu, ya.  Sekarang sudah lupa.  Karena usia sudah irrelevan.

Tentu aku tahu dia kini seorang penulis besar.  Dalam arti punya otak yang tak sekadar logis, etis, dan estetis.  Tapi terutama intuitif dan imajinatif.

Itu kusimpulkan dari hasil nguping diskusi orang. Bukan karena aku membaca novel-novelnya.

Awalnya aku tak tertarik pada undangan GP Mettasik untuk bergabung dalam webinar yang menampilkan Dee Lestari sebagai pembicara.  Bukan tak tertarik pada Dee Lestari.  Tapi judul webinarnya, "Dee Lestari Berbagi Tips Menulis Populer".

Hei! Tips lagi, tips lagi.  Yang benar itu "tip".

"Berbagi tip menulis populer?" Aku alergi berat pada kalimat atau frasa itu.  Karena beberapa alasan idiologis, atau paradigmatik, atau mazhab, atau apapun namanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline