"It won't be easy, you'll think it strange
When I try to explain how I feel
That I still need your love after all that I've done
...
Don't cry for me, Argentina
The truth is, I never left you
All through my wild days, my mad existence
I kept my promise
Don't keep your distance."
Potongan lagu Don't Cry for Me Argentina gubahan Andrew Loyd-Webber itu pas benar dengan suasana batin Lionel Messi dan kawan-kawan hari-hari ini.
Sukses membawa Argentina dipecundangi Arab Saudi 1-2 jelas prestasi yang memilukan. Saya saja sedih tak kepalang. Mengapa sih bukan Timnas Indonesia yang menumbangkan Argentina?
Arab Saudi boleh saja gagal lolos ke babak berikutnya dalam Piala Dunia 2022 ini di Qatar. Tapi sejarah sepak bola mencatat, Arab Saudilah satu-satunya Tim Asia yang pernah meluluh-lantakkan Agentina. Seperti juga Korsel satu-satunya Tim Asia yang pernah mempermalukan Jerman di ajang Piala Dunia.
Kemenangan atau kekalahan Argentina bisa dijelaskan secara rasional Itu bukan soal pudarnya sihir Lionel Messi di tanah para pangeran padang pasir. Ini bukan era Aladdin, bukan?
Sangat jelas bahwa lini pertahanan Argentina amburadul. Lini serangnya -- Messi, Martinez, Di Maria -- kehilangan kreativitas dan energi. Malah jadi bulan-bulanan perangkap offside. Lini tengahnya hanya latihan oper-operan bola.
Sebaliknya lini pertahanan Arab Saudi sangat solid. Lini serangnya trengginas, cepat, keras, dan joss. Tendangan ke gawang boleh cuma dua kali, tapi dua-duanya gol.
Dan kiper! Al Owais itu adalah gurita di bawah mistar Arab Saudi. Kemana pun arah tendangan atay sundulan Messi dan Di Maria, selalu lengket di tangannya. Bedalah dengan Martinez, kiper Argentina. Dua kali kebobolan di sudut gawang yang sama, kiri.
Barangkali, ya, barangkali gaya permainan Arab Saudi sekarang adalah salah satu buah modernisasi merujuk Barat yang diinisiasi Pangeran MbS. Pelatih Herve Renard sukses membesut Arab Saudi jadi "Tim Eropa" di Timur Tengah.