"Komponis senior Batak ternyata telah merekam dan mendokumentasikan gejala bunuh diri orang Batak tempo dulu dalam lirik lagu-lagu gubahan mereka."
Saya mulai dengan satu kisah nyata bunuh diri seorang gadis Batak awal tahun 1970-an.
Kejadiannya di daerah Uluan Toba, Tanah Batak. Tepatnya di huta, kampung, Sorlatong, tetangga huta Panatapan, kampung halamanku.
Suatu sore warga Sorlatong gempar. Sarmaida yang sejak pagi tak tampak batang hidungnya ditemukan tewas di atas pusara ayahnya di pekuburan kampung.
Mulutnya berbusa. Tercium bau putas, racun endrin yang biasa digunakan warga tani membasmi tikus.
Kesimpulannya, Sarmaida tewas maningkot, bunuh diri.
Usut punya usut, Sarmaida rupanya putus asa lantaran ditinggal lelaki kekasihnya yang menikah dengan gadis lain lalu pergi entah ke mana. Padahal lelaki itu sudah berjanji menikahi Sarmaida di hadapan ibunya. Semua warga Sorlatong juga sudah tahu rencana pernikahan itu.
Orang kemudian bergunjing. Sarmaida itu sudah menyerahkan segalanya kepada lelaki sialan itu. Termasuk kesuciannya. Dia tak punya harga diri lagi. Orang merendahkannya.
Karena itu, orang menyimpulkan, Sarmaida merasa hidupnya tak berarti lagi. Lalu timbullah keputusan bunuh diri itu. Tumagon ma langge unang singkoru. Tumagon ma mate unang mangolu -- Lebih baik lengkuas tinimbang jali-jali. Lebih baik mati tinimbang hidup.
***