Bukan juga penghematan. Karena nebeng gratisan jauh lebih hemat ketimbang jalan kaki.
Kesehatan? Bagiku itu mitos. Kakekku dan ayahku dulu meninggal karena sakit pada usia 50-an awal. Mereka adalah petani yang pada usia itu telah berjalan kaki lebih jauh dan lebih lama ketimbang diriku pada umur yang sama.
Kini usiaku sudah melewati batas minimal lansia. Syukur kepada Allah, aku dikaruniai-Nya kesehatan.
Riset Menggunakan "Metode Malas"
Jadi jangan buru-buru percaya pada hasil riset Stanford University (2017) yang menggunakan "metode 0malas". Malas? Ya, malas, ogah jalan ke negara-negara yang diriset.
Tim riset Stanford University hanya menganalisis data menit per menit dari 700.000 orang sampel di sejumlah negara. Sampel adalah pengguna telepon seluler dengan aplikasi Argus--aplikasi pemantau aktivitas.
Hasilnya, ditemukan fakta sub-sampel orang Indonesia paling malas jalan kaki sedunia. Rata-rata hanya 3.513 langkah per hari. Atau hanya 51% dari jarak jalan kaki orang Hongkong: 8.880 langkah, paling rajin sedunia.
Masalahnya, siapakah sampel orang Indonesia itu? Mereka adalah minoritas kelas menengah-atas perkotaan. Lazimnya adalah kelas eksekutif kaya yang mampu membeli telepon seluler canggih.
Jadi kesimpulan "orang Indonesia malas jalan kaki" itu berlaku untuk kelas elite sosial itu. Bukan untuk bangsa Indonesia.
Ah, kesimpulan ini mengingatkanku akan mitos "Melayu malas". Ini labelisasi pribumi Asia Tenggara oleh pemerintah kolonial tempo dulu. Tanpa sudi melihat soal itu sebagai bentuk resistensi pribumi terhadap penjajahan.
Saya jadi suudzon. Jangan-jangan periset dari Stanford University itu adalah bagian dari kekuatan kolonialisme ekonomi yang hebdak menjajah Indonesia menggunakan senjata telepon seluler canggih. Bisa saja, bukan?