"Saya menganggit novel Poltak selayaknya melukis dengan teknik mosaik." -Felix Tani
Mungkin ada pembaca novel Poltak di Kompasiana bertanya-tanya. "Apakah ini novel, atau kumpulan cerpen, atau serial humor?"
Sebagai penganggit, saya harus bilang, Poltak ditulis sebagai sebuah novel. Sekurangnya, saya niatkan sebagai novel.
Tapi, tukas pembaca lagi, mengapa tidak terkesan sebagai sebuah novel? Mengapa justru terbaca sebagai seri cerita yang terpisah-pisah. Setiap nomor bisa berdiri sendiri sebagai sebuah cerita.
Novel Poltak itu memang bisa dibaca secara anarkis. Bisa mulai dari depan, tengah, atau belakang. Secara runtut ataupun loncat-loncat. Sesukamu.
Ujungnya akan sama saja. Kisah tentang kesahajaan hidup seorang anak kecil bernama Poltak. Seorang anak Batak kelahiran kampung Panatapan.
Kisahnya terfokus pada pengalaman-pengalaman sosial biasa seorang anak kecil. Pada usia prasekolah dan semasa sekolah di sebuah SD Negeri di Hutabolon.
Panatapan dan Hutabolon, keduanya pseudonim, yang menjadi ajang geografis novel itu adalah dua kampung kecil di Tanah Batak.
Sebelum mulai menulis novel Poltak, saya sudah membaca empat novel yang berkisah tentang masa kanak-kanak. Khususnya masa sekolah dasar. Saya membaca Matilda-nya Roald Dahl, Totto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi, Duabelas Pasang Mata-nya Sakae Tsuboi dan, tentu saja, Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Keempatnya adalah novel hebat yang mustahil ditiru. Jujur, saya sangat terinspirasi oleh novel-novel itu. Sambil menyadari mustahil bisa menulis sehebat itu.