Pernah suatu ketika sedang gayeng diskusi etika di sebuah WAG lansia. Eh, tetiba ada masuk pesan berupa foto wisata di Jepang dari seorang anggota WAG yang dari tadi gak ikut diskusi. Pesan foto itu tetiba pula dihapusnya, disusul ucapan "Maaf, salah kamar."
Maksudnya apa coba? Mestikah dipercaya pesannya salah kamar? Baiklah, dipercaya, tapi salah kamar yang disengaja. Sengaja agar anggota WAG lain tahu kawan itu baru atau sedang jalan-jalan di Jepang.
Bah, baru ke Jepang aja pakai pamer lewat modus "salah kamar" segala. Sombong. Saya saja yang sudah melanglang buana dari Pantai Pamengpeuk, ke Gua Jatijajar, sampai Puncak Maskumambang, hingga Pantai Goa Cina gak jadi sombong tuh. Bahkan pernah ke Bantimurung zonder bersua kupu-kupu, saya gak heboh, tuh.
Saya beranggapan "salah kamar" itu adalah sebuah tindakan sosial yang bersifat rasional instrumental. Bukan sesuatu yang tak disengaja. Tapi sesuatu yang disengaja, terencana, untuk maksud atau tujuan tertentu.
Pesan yang (seolah-olah) "salah kamar" di WAG itu dimaksudkan untuk mengumumkan sesuatu tentang diri pengirim pesan. Walaupun segera di hapus, tapi orang lain sudah sempat lihat dan langsung diingat karena isi pesannya melenceng dari topik pembicaraan.
Bisa dikatakan, modus "salah kamar" di WAG termasuk strategi pemasaran diri. Dalam upaya membangun citra diri (image) sebagai seseorang dengan kualitas tertentu. Misalnya seseorang yang wawasannya luas, karena telah menginjak tanah di lima benua. Atau seseorang yang jaringan sosialnya luas, karena telah pernah bertemu dengan tokoh-tokoh nasional.
Perhatikan bahwa pesan "salah kamar" itu lazimnya menunggangi sebuah diskusi yang cukup intensif. Kenapa? Karena dengan demikian banyak anggota WAG lain yang akan membacanya.
Kalau WAG sepi macam kuburan, bisa dipastikan tak ada itu aksi "salah kamar". Siapa pula yang sudi "salah kamar" ke "kuburan"?
***
Saya pikir, modus "salah kamar" itu juga kini yang sedang dimainkan oleh Pak Kamaruddin Simanjuntak, pengacara keluarga almarhum Brigadir Joshua (J).