Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

[Poltak #096] Nostalgia Lampet Panas dan Teh Manis di Tanah Jawa

Diperbarui: 9 Agustus 2022   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kolase foto oleh eFTe (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Bulan Mei telah tiba di Panatapan.  Warga Panatapan memasuki masa  haleon, paceklik. Panen padi sawah paling cepat baru di bulan Juni. Tanam padi di Panatapan hanya sekali setahun. 

Persediaan gabah di lumbung warga mulai menipis. Terlebih jika panen tahun sebelumnya kurang bagus.  Entah itu  karena serangan satua, tikus, atau sebab lain.

Gabah di lumbung nenek Poltak juga sudah mulai menipis. Sebenarnya masih cukup sampai panen tiba sebulan lagi.  Tapi nenek Poltak tidak mau ambil risiko.  Riskan bila perlu uang tunai mendadak.

Gabah di lumbung adalah sumber uang tunai tercepat bagi Panatapan.  Perlu uang banyak secara cepat, ya, jual gabah ke toke beras. 

Sebenarnya ada ternak babi.  Tapi belum tentu cukup umur untuk dijual.

"Kita ke kampung ompungmu di Hutabayu lusa."  Nenek Poltak mengambil keputusan.

"Ke kampung Ompung Purbatua?" Poltak menegaskan.  Dia menyebut kakeknya itu menurut nama anak sulungnya. "Hari Sabtu, ompung?"

"Iya, Sabtu. Sepulang sekolah. Minta izinlah pada Guru Arsenius. Senin depan kamu tidak masuk sekolah."

"Olo, Ompung."

Ompung Purbatua itu adik kandung nenek Poltak. Dia dan keluarga intinya bermukim di Hutabayu, Tanah Jawa Simalungun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline