Sudah sebelas hari berlalu sejak peristiwa kematian Brigadir Polisi Joshua Nopriansyah Hutabarat (Brigadir J).
Sebegitu lama, baru ada tiga fakta terkait perisiwa itu yang dapat diterima kebenarannya.
Pertama, seorang polisi berpangkat brigadir bernama J telah tewas dengan luka tembak dan luka lain pada tubuhnya.
Kedua, almarhum Brigadir J telah dimakamkan tanpa upacara resmi kepolisian di kampungnya, Sungai Bahar, Jambi.
Ketiga, Kapolri Jenderal Listio Sigit Prabowo telah membentuk sebuah tim khusus yang diketua Wakapolri untuk menyelidiki peristiwa "Kematian Brigadir J" itu.
Selebihnya, masih gelap. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, di mana tempat kejadian, kapan persisnya terjadi, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana kejadiannya?
Sejauh ini, berdasar keterangan awal polisi -- dalam hal ini disampaikan oleh Kapolres Jaksel dan juga Karopenmas Divisi Humas Polri -- hanya ada tiga orang yang terlibat langsung dalam peristiwa itu. Brigadir J sendiri, Bharada E, dan PC yang merupakan istri dari Irjen FS, Kadiv Propam Polri.
Kejadiannya, masih menurut keterangan awal polisi, J melakukan perbuatan taksenonoh kepada PC di kamar pribadi PC. PC berteriak. E datang hendak menolong. J menembak E. E balas menembak J. Terjadi tembak-menembak. Akhirnya J tewas dengan tujuh luka tembak. E selamat tanpa luka tembak.
Oleh publik, keterangan awal polisi masih dianggap sebagai "cerita", belum sebagai "temuan fakta yang sebenarnya". Alasannya, keterangan itu diberikan 3 hari setelah kejadian dan tanpa barang bukti. Publik lalu berspekulasi, dalam jeda waktu 3 hari itu "cerita" apa yang telah "dikarang"? Fakta-fakta apa yang mungkin telah ditutupi?
Intinya, publik meragukan kebenaran empirik keterangan awal polisi tentang peristiwa "Kematian Brigadir J". Karena itulah muncul pameo: "Polisi tembak-menembak, CCTV mati duluan."