Saya ditertawakan rekan-rekan guru di grup perpesanan "Gang Sapi" (pseudonim), lantaran membagikan artikel lawas "Ayo, Kembali ke Papan Tulis!" (kompasiana, 2 Mei 2018).
"Sekarang bukan era blackboard lagi, Engkong. Itu kuno. Sekarang era jamboard," kata seorang Pak Guru senior.
Saya sempat bingung juga, tak paham apa itu jamboard. "Papan tulis yang ada jamnya," kata Pak Guru senior tadi. (Ini Pak Guru gak takut kualat membodohi warga lansia, ya.) "Papan tulis digital, Engkong," sela seorang Bu Guru yang baik hati dan pintar memasak.
Ya, jamboard, aplikasi papan tulis digital. Catat, digital! Jadi, jamboard itu bukan papan selai (jam) seperti saya pikirkan saat membaca kata itu.
Kuno. Itu label bernada bullying yang dikenakan pada papan tulis, blackboard maupun whiteboard.
Modern dan canggih. Itu sekarang orientasi ibu dan bapak guru terkait media ajar. Maka, lihatlah, ibu-ibu dan bapak-bapak guru sibuk mengulik segala macam aplikasi digital, berbasis internet ataupun non-internet, untuk pengajaran dalam-kelas (on-classroom) naupun luar-kelas (off-classroom).
Kecenderungan digital oriented dalam media ajar utu semakin menguat sebagai respon logis terhadap pandemi Covid-19 dua tahun terakhir. Pandemi telah memicu intensifikasi dan ekstensifikasi media ajar digital.
Sebenarnya tidak salah dengan itu. Hanya saja, saya melihat ada masalah dengan pendewaan media ajar digital. Kakraban, dalam arti optimal rapport, antara guru dan murid semakin memudar.
Nanti soal rapport atau keakraban itu akan saya bahas di akhir. Saya mau cerita dulu tentang respon grup perpesan lain terhadap artikel yang sama.
***