Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

[Sosiologi Kuburan] Memahami Kematian sebagai Tindakan Sosial Terakhir

Diperbarui: 24 Mei 2022   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah masa depan (di latar depan) dan rumah masa lalu (di latar belakang) (Dokpri)

Kematian adalah tindakan sosial terakhir manusia. Karena itu harus dijadikan pengalaman terbaik.  

Lima tahun lalu Mbah Harti (pseudonim), saksi pernikahanku,  berpulang dalam usia 80 tahun. Saat saya melayat, Mas Warso (pseudonim) anak mantunya bercerita, Mbah Harti sudah merencanakan dan mempersiapkan kematiannya.

Kata Mas Warso, selama 2 minggu di rumah sakit, Mbah Harti sama sekali tidak mau membuka mata.  Juga tidak mau berbicara. Dia menolak semua obat yang dimasukkan melalui mulut.

Masih menurut cerita Mas Warso, Mbah Harti terakhir kali berbicara  sekitar seminggu sebelum masuk rumah sakit. Dia memberitahu dan menunjukkan pakaian yang harus dikenakannya jika nanti berpulang.  

Dia juga memberi catatan nama dan nomor kontak seorang petugas yayasan untuk dihubungi.  Yayasan itulah nanti yang akan mengurus segala keperluan pemakamannya. Mulai dari peti jenazah dan pernak-perniknya, kendaraan jenazah, tempat dan liang lahat, berikut biayanya.

Cerita tentang Mbah Harti itu mengingatkan saya pada nenek Poltak (pseudonim).  Sebelum berpulang 14 tahun lalu, nenek Poltak sudah berpesan kepada anak perempuannya, satu-satunya anak yang masih hidup, tentang upacara pemakamannya.  

Nenek Poltak ingin kematiannya dirayakan dengan  gondang (musik gendang dan tortor Batak).  Tapi karena sebagian kerabatnya penganut Pentakosta yang mengharamkan gondang Batak, maka nenek Poltak minta peralatan musiknya diganti dengan alat musik gerejani (terompet, gitar, drum). Dengan begitu, kerabatnya yang Pentakosta bisa ikut manortor, menari.

Biaya upacara pemakamannya juga sudah disiapkan berupa sejumlah perhiasan emas. Nenek Poltak minta perhiasan itu dijual untuk biaya.  Jika jumlahnya kurang, maka anak-anaknya diminta untuk urunan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dua kisah kematian di atas, kasus Mbah Harti dan Nenek Poltak, jelas mengindikasikan bahwa peristiwa berpulang atau kematian adalah sesuatu yang direncanakan.  Bukan sesuatu yang terjadi begitu saja di luar dugaan atau harapan.

Kata kuncinya adalah "kalau aku mati,  maka aku ingin  ...".   Keinginan itu mencakup tempat, waktu, dan cara kematian. Serta busana, upacara pemakaman, dan tempat pemakaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline