"Dia telah pergi ke keabadian, bukan karena termakan oleh sakit batin, tapi karena dihantarkan oleh sakit lahiriah."
Apakah individu manusia memiliki sebuah motif subyektif untuk berpulang atau meninggal dunia?
Pertanyaan khas Weberian itu tetiba menyeruak ke dalam sesak pikiran dalam benakku. Sekejap setelah membaca kabar berpulangnya rekan Kompasianer Jati Kumoro, kemarin sore, Sabtu 7 Mei 2022, di grup perpesanan.
Tentu, pertanyaan soal motif berpulang itu relevan jika, dan hanya jika, kematian adalah sebuah tindakan sosial.
Dan saya memahaminya seperti itu.
Sebab bukankah setiap orang punya harapan tentang cara berpulang dan tujuan akhirat? Tentu setiap orang ingin berpulang dengan cara yang layak, di tengah keluarga dan komunitasnya, untuk kemudian boleh beristirahat dalam damai di surga-Nya.
Jelas, harapan semacam itu adalah motif sosial berpulang yang bersifat subyektif. Dan karena itu kematian menjadi sebuah tindakan sosial.
Dikatakan tindakan sosial karena kematian senantiasa melibatkan pihak lain. Keluarga inti, kerabat luas, komunitas, dan para sahabat dan relasi sosial. Bahkan melibatkan organisasi swasta semacam jasa pemakaman dan negara yang hadir dalam wujud dinas pemakaman.
Tapi bukankah individu tak perlu melakukan upaya apapun untuk mati secara wajar? Lantas bagaimana bisa dikatakan kematian itu sebuah tindakan sosial?
Ya, kematian adalah tindakan sosial pasif. Seseorang hanya perlu menghembuskan nafas terakhirnya. Itu sudah cukup untuk mengundang respon duka-cita serta ritual religi dan tradisi kematian dan pemakaman.