"IQ kita boleh rendah, tapi kita tak boleh dungu, sebab kita bukan keledai." -Felix Tani
Beberapa hari lalu seorang rekan perpesanan menyampirkan utas Average IQ by Country 2022 (worldpopulationreview.com) di grup. Dia mau mengabarkan rerata angka IQ orang Indonesia tahun 2022.
Ternyata rerata IQ kita adalah 78.49, urutan ke 130 dari 199 negara. Sama persis dengan Timor Leste dan Papua New Guinea.
Bersama Timor Leste, kita urutan terbawah untuk skala ASEAN. Tapi masih lebih tinggi dibanding beberapa negara Timur Tengah seperti Palestina (77.69), Saudi Arabia (76.36), dan Yaman (62.86).
Angka rerata IQ tertinggi adalah Jepang (106.48) dan terendah Nepal (42.99). Di ASEAN, angka IQ tertinggi diraih Singapura (105.89, peringkat 3 dunia).
Karena IQ itu soal kecerdasan intelektual, maka dia punya hubungan kausatif dengan sistem pendidikan. Semakin baik sistem pendidikan suatu negara, semakin dimungkinkan peningkatan IQ warganya. Kira-kira begitu.
Bicara tentang sistem pendidikan, tentu tak hanya soal pendidikan formal (sekolah) dan non-formal (kursus). Tapi juga pendidikan informal yaitu sosialisasi dalam lingkup keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Kesadaran, minat, penilaian, pemahaman, dan penerimaan terhadap sesuatu hal, entah itu gagasan atau barang, tidak hanya diperoleh lewat pertukaran -- atau mungkin transfer (?) -- pengetahuan dalam pranata sekolah atau kursus. Tapi juga diperoleh dalam pranata keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Tentu ada bedanya. Sekolah/kursus membagikan pengetahuan ilmiah atau sains. Sedangkan keluarga membagikan pengetahuan asli (pengetahuan/kearifan lokal).
Dua jenis pengetahuan itu, sains dan pengetahuan asli, selalu bertarung merebut dominasi pengaruh dalam masyarakat.