Telah bulan ganti bulan, dia gelayut di sana, di pucuk julang antena televisi itu.
Dia, layangan putus, dulu pernah terbang membelah langit, hendak memetik bulan purnama.
Dia, layangan putus, kini tinggal kerangka, terlapuk oleh basah hujan dan terik mentari.
Dia, layangan putus, kini hanya bisa merindu bulan, sebelum nanti direnggut angin lalu terbantun remuk ke tanah.
Telah tahun ganti tahun, sebuah hidup menjadi layangan putus, tersangkut di pucuk tiang durjana, merana merindu surga.
Rindu itu tak akan berujung, andai Dia tak mengutus seorang Anak, Juru Selamat bagi si layangan putus.(eFTe)
*)Gang Sapi Jakarta, 19 April 2022. Foto yang menginspirasi puisi ini diambil sekitar pukul 06.00 WIB pagi tadi dari depan rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H