Pontius Pilatus itu gubernur paling sohor sepanjang masa seantero bumi. Namanya tertera dalam Injil, salah satu dokumen tertua, dan dibaca ratusan juta orang tiap tahun.
Pilatus menjabat gubernur Provinsi Yudea Kekaisaran Romawi tahun 26-36. Dialah gubernur yang mengadili Yesus Kristus tahun 33 (?), dengan keputusan "cuci tangan".
Dia tahu Yesus tak bersalah. Tapi dia menyerahkan Yesus kepada massa Yahudi untuk dihukum mati di kayu salib.
Mengapa Pilatus menyerahkan Yesus ke tangan massa Yahudi?
Alasan politis. Dia takut diadukan orang Yahudi sebagai pejabat yang tak sehaluan dengan Kaisar Tiberius, penguasa Romawi waktu itu. Kalau sampai kejadian begitu, jabatan gubernur bisa dicopot darinya.
Pilatus waktu itu mungkin berambisi menjadi "gubernur tiga periode". Karena itu dia mengikuti kemauan massa Yahudi. Takut dicap "bukan sahabat kaisar", bila membebaskan Yesus yang disebut "Raja Yudea". Sebutan "Raja Yudea" wajtu itu dipersepsikan melawan kekuasaan Kaisar Romawi.
Pontius Pilatus itu tipikal pejabat yang menghalalakan segala cara demi status quo. Pejabat di Indonesia agaknya juga begitu. Ada presiden yang berkuasa lebih dari 2 periode. Ada anggota DPR yang duduk di Senayan dari sejak muda sampai lansia.
Ada pula kepala daerah yang "mewariskan" jabatan kepada istri atau anaknya. Bahkan, mungkin, sampai ke cucunya.
Belakangan ini Indonesia heboh oleh wacana Presiden tiga periode dan penundaan Pilpres 2024. Isu yang ditiupkan: "lingkaran dalam" Presiden Jokowi berambisi memperpanjang masa jabatan presiden. Kalau bisa, ya, satu periode lagi. Atau sekurangnya menunda Pilpres 2024.
Opsi terakhir ini bisa lebih parah dibanding wacana tiga periode. Bisa saja penundaan Pilpres 2024 itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin saja ditunda terus sampai 20 tahun ke depan. Wah, 30 tahun dong, ya.