Kamu yang pacaran tahun 1980-pasti pernah kesal antri di depan telepon umum koin. Kamu sudah kebelet menelepon pacarmu, tapi orang yang sedang nelepon tak kunjung usai jua, dan masih punya segenggam koin di tangannya. Oh, Dewi Amor, berapa jam lagi kamu harus menunggu.
Ah, kaum milineal mungkin tak pahamlah romantika telepon umum koin. Bahkan melihatnya pun mungkin tak pernah.
Baiklah. Engkong ambil kasus ATM. Pernahkah kamu kesal hingga ke ubun-ubun antri di depan ATM, karena orang yang menggunakannya tak kunjung selesai dengan daftar panjang nomor rekening di tangannya? Sedemikian jengkelnya kamu sehingga ingin menyepak pantatnya sekuat tenaga?
Kamu berhak marah karena orang itu memakai telepon umum atau ATM seolah milik kakek-buyutnya. Itu fasilitas umum, sehingga pengguna wajib berempati. Jangan syur sendiri, dong. Orang lain juga punya hak sama, tauk.
Perasaan jengkel parah semacam itu pula yang Engkong rasakan hari ini saat mengakses Kompasiana. Soalnya Engkong menemukan lima orang kompasianer yang bercokol lebih dari 24 jam di ruang "Terpopuler". Dan secara bersamaan menemukan juga empat kompasianer bercokol di ruang "Nilai Tertinggi".
Apakah berlebihan kalau sembilan kompasianer itu Engkong sebut tak tahu diri? Mereka tentu tahu hanya boleh bercokol di situ total 12 jam. Setelah itu harus keluar, memberi tempat kepada barisan panjang kompasianer di belakangnya.
Tapi ini tidak. Mereka ngotot bertahan di situ. Tak peduli hak kompasianer lain.
Mungkin ada yang mau bilang itu bukan salah sembilan kompasianer itu. Tapi salah Admin K. Hei, camkan ya, Admin K terlalu cerdas untuk melakukan kesalahan semacam itu. Kamu jangan suka nendiskreditkan Admin, ya.