Razia kondom menjelang Hari Valentine adalah pemanggungan pikiran negatif kaum tua tentang kehidupan cinta kaum muda. -Felix Tani
Menjelang Hari Valentine, sebuah berita superkocak tersiar dari Makassar. Satpol PP Kota Makassar merazia kondom di sejumlah minimarket di Makassar. Para petugas minimarket dilarang menjual kondom, terutama kepada para remaja. [1]
Lha, apa dosa kondom sehingga harus dirazia. Apakah mungkin sarung "terung-terungan" itu semacam teroris seks yang mengancam keamanan "cabe-cabean"? Atau, apakah mungkin kondom itu semacam senjata slepetan yang berbahaya?
Ternyata alasan razia kondom lebih dahsyat dari itu, Saudara. Alasannya, kata Kepala Satpol PP Kota Makasar, agar "generasi muda yang masih jomlo ... tidak melakukan ritual-ritual yang negatif di malam Valentine ...."
Aje gile! Apa urusan kaum jomlo dengan malam Valentine? Jomlo itu kan gak punya pasangan, entah itu pacar atau istri/suami (coret yang tak sesuai)?
Lha, kalau gak punya pasangan, lantas kaum jomlowan/wati itu mau malam Valentinean dengan siapa, coba. Mereka kan rebahan sepi sorangan sepanjang malam Valentine. "Perkakas"-nya dianggurin. Gak butuh kondom segala.
Karuan, para jomlo di satu grup perpesanan langsung "meradang menerjang" (frasa dari puisi "Aku"-nya Chairil Anwar). Mereka tersinggung, tak terima penghinaan dari Pak Kasatpol PP.
"Sudah gak punya pasangan, disangka pula mau bikin ritual negatif di malam Valentine. Ritual negatif apaan pake kondom segala. Emangnya kita mau kumkum di tempuran pakai kondom, apa." Seorang rekan jomlowan idaman tante-tante misuh-misuh.
"Gue sih gak butuh kondom! Kalau mau dibilang ritual negatif, gue malah butuh pipa pralon!" Rekan jomlowan lain berteriak emosional (ada tanda seru). E busyet, itu pralon bakalan ape, Bang.
Tapi bisa dimaklumilah ketersinggungan para jomlo itu. Kenapa pula mereka harus dikambing-hitamkan hanya demi memuaskan hasrat para anggota Satpol PP pegang-pegang kondom di depan wartawan. Apa sih yang mereka bayangkan saat pegang kondom?