Kamu tahu pedagang asongan, bukan? Itu pedagang palugada (apa lu mau gue ada) di traffict light, terminal, pasar tradisional, tempat keramaian, kereta api (tempo dulu) dan lain sebagainya.
Para pedagang asongan itu disebut juga penjaja cangcimen (kacang, kuaci, dan permen). Julukan itu untuk menunjukkan ke-palugada-annya.
Sejatinya mereka tak cuma menjajakan cangcimen. Tapi juga rokok, tisu, macis, obat antimabuk, air mineral, obat sakit kepala, obat masuk angin, peniti, jarum dan benang, pulsa, dan silet.
Serta, ada kalanya, benda lain yang tak terduga. Semacam kondom dan obat kuwat (mungkin) bikinan Atjeck Roedyh. Mungkin, lho.
Kenapa mata dagangan pengasong itu begitu beragam? Nah, itu namanya mitigasi risiko bisnis, kawan.
Kalau Pak Asong misalnya cuma jual peniti, dalam sehari mungkin cuma laku beberapa biji. Sebab kancing baju atau ritsleting celana pejalan tak pedot tiap hari, bukan?
Risikonya, piring terbang yang dipiloti istrinya akan mendarat tepat di jidat Pak Asong, karena pulang menjelang magrib tanpa duit di tangan.
Nah, kalau Pak Asong menjajakan barang palugada, maka ada oportunitas (ini bukan sejenis opor, ya) baginya untuk menjual lebih banyak barang. Sebab dia menyediakan aneka kebutuhan sesaat para pejalan yang beraneka ragam. Kalau gak butuh peniti, mungkin perlu tisu, rokok, permen, atau kondom ketengan, bukan?
Itu namanya mitigasi risiko penjualan cekak. Bisa menghindari peluncuran piring terbang dari dapur ke pintu depan.
Aslinya adalah pola nafkah ganda ala buruhtani desa yang cuma punya tenaga. Nah itu tenaga dipakai untuk melakoni apa saja yang menghasilkan duit. Mulai dari buruh cangkul, buruh tanam, buruh panen, buruh galian, buruh bangunan, kuli angkut, dan lain sebagainya. Itu disebut coping strategy, strategi melewati masa sulit rezeki.