Sepakbola terutama adalah logika dan etika, rasionalitas dan sportivitas. Estetika, keindahan, adalah resultan dari keduanya. -Felix Tani
Parkir bus. Ini istilah salah kaprah untuk suatu pola permainan sepakbola. Suatu istilah untuk menunjukkan pola bertahan total.
Polanya, semua pemain berada di area gawang sendiri. Menjadi pemain bertahan. Hanya satu orang yang ada di garis depan. Siap memanfaatkan bola muntahan.
Saya sebut salah kaprah karena satu alasan kondisional. Parkir bus mengindikasikan situasi stagnan. Semacam tembok mati.
Karena sifat stagnannya itu, serapat apapun "parkir bus" itu, selalu ada celah untuk lewat. Entah itu dari kolong, dari sampibg jauh, atau dari atas.
Contoh sederhananya adalah hukuman tendangan bebas. Selalu ada lima atau enam pemain lawan yang diparkir rapat menutup ruang tembak. Faktanya, pemain cerdas seperti Beckham, Messi, dan Ronaldo, kerap melesakkan gol ke gawang lawan dalam situasi itu.
Saya perlu katakan itu untuk menanggapi penilaian sejumlah pengamat. Entah dia profesional, amatir, atau abal-abal macam saya.
Setengah meledek, mereka bilang Tim Indonesia main "parkir bus" saat melawan Tim Vietnam dalam pertandingan Piala AFF, kemarin Rabu malam (15/12/2021) di Stadion Bishan Singapura.
Menurut saya Tim Indonesia tidak memainkan pola "parkir bus". Tidak begitu. Saya lebih condong menyebutnya pola rope a dope.
Penggemar tinju pasti tahu rope a dope adalah istilah untuk pola permainan khas Muhammad Ali. Bersandar di tali ring dengan double cover rapat ketat. Lalu membiarkan lawan menghajarnya sampai energinya terkuras.