Jangan perduli soal predikat. Ketimus is ketimus. Mau sematkan predikat kenthir, klasik, kolonial, milenial, 4.0, tetap saja dia ketimus. Penganan yang terbuat dari singkong parut, kelapa parut, dan gula kalapa ditambihan gula pasir.
Jika Engkong sebut ketimus kenthir ala Gang Sapi, tak perlulah terpana. Dinamai begitu karena pembikinnya seorang kompasianer kenthir yang tinggal di Gang Sapi Jakarta. Andai dia tinggal di Jeneponto, ya, nama itulah yang akan tersemat.
Bagi Engkong Felix, ketimus itu selalu nikmat. Jika diminta pilih ketimus atau klappertaart, ya, Engkong pasti pilih ketimus dulu. Setelah itu baru makan klappertaart. Kenapa? Karena klappertaart adalah dessert, makanan penutup. (Bukan pencuci mulut, mouth washer, LoL).
Enak itu subyektif, tak bisa diperdebatkan. Walau, tentu saja, layak dipertanyakan. Semisal, bagaimana bisa orang Surabaya bilang rujak cingur itu enak tiada duanya? Atau, bagaimana bisa orang Priangan tergila-gila pada oncom?
Begitulah. Kamu bisa pertanyakan selera Engkong. Kok bisa-bisanya kesengsem pada ketimus. Sampai-sampai tak melihat ada nenek cantik lewat di belakangnya.
Begini. Waktu Engkong masih balita dulu, nenek Engkong kerap bikin ketimus untuk sarapan. Sejak itu lidah dan otak Engkong merekam ketimus sebagai penganan enak.
Boleh ditertawakan, tapi ini soal sensasi lahir-batin. Setiap kali makan ketimus, Engkong serasa terlempar ke masa lalu, ke masa kanak-kanak di Panatapan, kampung Poltak di Tanah Batak sana.
Makan ketimus bagi Engkong adalah sebuah nostalgia kebahagiaan semasa kecil. Dia bukan semata soal sensasi rasa nikmat di lidah. Tapi juga sensasi rasa bahagia dari masa lalu di ruang memori.
Tapi, di kota "palugada" Jakarta rupanya gampang mendapatkan apa saja, kecuali ketimus. Tak mudah menemukan toko kue yang menjual penganan itu di kota ini. Jauh lebih mudah menemukan rumah DP Nol Rupiah dan lubang biopori di trotoar.