"Anda menjalankan farming atau gardening?" Itu pertanyaan Michael Goutama, Managing Director/Shareholder River Glory Pte Ltd Singapura, pemegang lisensi sejumlah varietas padi hibrida, dalam satu diskusi riset perbenihan di Bandung tahun 2008.
Saya hadir dalam diskusi itu. Sebagai penyusun proposal diskusi, pengarah, pemilih narasumber, dan perumus hasil diskusi. Waktu itu hadir peneliti/pemulIa dari IPB, Unpad, UGM, UKSW, dan Unibraw (UB) sebagai narasumber.
Pertanyaan itu diajukan Pak Michael menanggapi klaim produktivitas tinggi sejumlah varietas unggul baru padi, inbrida dan hibrida, yang disampaikan para peneliti-pemulia (breeder).
Produktivitas padi hibrida misalnya diklaim di atas 10 ton GKG/ha. Jika harga GKG Rp 5,000/kg, maka potensi pendapatannya Rp 50,000/ha. Itu dua kali lipat dibanding padi inbrida.
Frasa farming dan gardening itu merujuk skala pertanaman. Farming itu skala luas, tingkat petani. Misalnya hamparan sawah sedesa, kabupaten, sampai provinsi.
Sedangkan gardening itu skala mikro/sempit, aras demonstration plot (demplot), demonstration farm (demfarm), dan agribisnis skala mikro semisal greenhouse 1,000-2,000 meter persegi.
Aras farming itu merujuk penerapan teknologi pertanian secara ekstensif oleh petani. Sedangkan gardening merujuk penerapan teknologi secara intensif.
Esensi pertanyaan Pak Michael adalah soal skala. Kita bicara tentang skala makro, kepentingan nasional. Semisal swasembada pangan.
Bukan bicara tentang skala mikro, kepentingan laboratoris, atau kepentingan bisnis individual. Semisal ekonomi keluarga petani kecil, atau bisnis hortikultura skala rumahan atau pekarangan (garden).
***