"Kritik adalah pujian yang pahit." -Felix Tani
Kompasiana bukan lagi rumah kita bersama. Kalau Admin K diskriminatif sejak dari pikiran. Lalu, kemudian, terwujud dalam tindakan.
Tapi apakah Admin K diskriminatif? Sudilah menerimanya sebagai hipotesis yang mesti dibuktikan. Saya akan ulik program K-Rewards dan Topik Pilihan (Topil) untuk pembuktiannya.
Sudah tahu keputusan terakhir (Oktober 2021) dari Admin K terkait K-Rewards, bukan? Katanya, K-Rewards akan diprioritaskan untuk artikel Topil.
Apa implikasi keputusan itu? Empat hal dapat dikatakan di sini.
Pertama, Admin K telah menggiring Kompasianer untuk menulis artikel sesuai minat dan selera bisnis Admin K. Pertimbangannya pasti manfaat ekonomi. Mungkin, berdasar SEO, topil itu akan menjaring banyak views. Banyak views, maka banyak iklan dan, karena itu, banyak cuan masuk.
Kedua, Admin K telah menggunakan program K-Rewards sebagai instrumen insentif untuk menggiring Kompasianer menulis artikel sesuai topil. Jika menulis sesuai topil, imbalannya besar. Di luar topil, imbalannya kecil.
Ketiga, berdasarkan dua implikasi di atas, Admin K telah bertindak diskriminatif. Tidak netral, tapi pilih kasih. Kompasianer yang patuh pada kepentingan Admin K (=voice?) akan mendapat K-Rewards besar. Sebaliknya, Kompasianer yang mbalelo (=noise?) dapat imbalan kecil atau bahkan zonk.
Keempat, berdasarkan implikasi ketiga, maka Admin K telah mengingkari nilai demokrasi yang terkandung dalam tagline Kompasiana Rumah Kita Bersama". Dengan cara itu, K bukan lagi "rumah kita bersama" (common home). Tapi sudah berubah menjadi "perusahaan privat" (private business). Kompasianer bukan lagi tuan yang otonom. Tapi sudah menjadi "buruh" bagi "majikan" bernama Admin K.
Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab Admin K terkait perlakuan terindikasi diskriminatif itu.