Bagimu noise, bagiku voice! -Felix Tani
Saya telah memulai artikel ini dengan sebuah kesalahan fatal. Menuliskan angka 13 sebagai kata pertama dalam judul adalah dosa besar. Harusnya ditulis "Tigabelas".
Tapi sudahlah. Nabi munsyi Kompasiana, Daeng Khrisna Pabichara, sedang "tidur panjang". Jadi saya tak perlu kebat-kebit takut dikritik sampai mendelik. Daeng Khrisna, tetaplah ""tidur di Turatea sana.
Kesalahan yang disengaja seperti itu tergolong noise, gangguan, atau kebisingan. Ya, noise! Dan itu gue banget.
Maksud saya, dalam 13 tahun usia Kompasiana, ada 7 tahun usia berkompasiana dari seorang Kompasianer yang dihabiskan hanya untuk mengumbar noise. Kompasianer yang saya maksud adalah Felix Tani, saya sendiri.
Di Kompasiana, noise adalah Felix Tani, dan Felix Tani adalah noise. Begitulah saya memahami dan memaknai kehadiranku di Kompasiana sejak 2014.
Saya telah memaknai seluruh artikelku di Kompasiana sebagai noise. Sebagai kata-kata yang mengganggu Kompasianer dan Admin Kompasiana. Kata-kata yang membuat tak nyaman. Karena saya setia menulis dengan perspektif anarkisme yang kusebut kenthirisme.
Bagaimanapun, sesuatu yang kenthir tak akan pernah membuatmu nyaman. Dia selalu mengusikmu. Mempertanyakan kemapanan pikiranmu. Sehingga kau akan menganggap artikelku sebagai gangguan, sesuatu yang bising, sehingga harus diredam.
Akhiran "-mu" pada kata-kata "membuatmu", "mengusikmu", dan "pikiranmu" di atas menunjuk pada Admin Kompasiana juga. Sebab saya tergolong pengritik paling bising tanpa mutu untuk Admin Kompasiana. Jangan ingat itu!
Saya sangat paham, Kompasiana digiring pada sebuah kemapanan. Suatu kondisi yang aman,nyaman, dan terkontrol. Ada aturan untuk menjamin itu, termasuk aturan karantina artikel. Tapi tak hanya itu. Topik Pilihan dan event blog competition juga adalah instrumen untuk menciptakan kemapanan dan kenyamanan itu.