Tanggal tua itu adalah penjajahan atas hidup bulanan pegawai formal kantoran. Gaji 15 itu bukan Rp 15 juta per bulan, tapi mulai menipis pada tanggal 15 dan habis persis sehari sebelum gajian tiap bulannya. Karena itu pegawai umumnya mengalami stres total 180 hari per tahun akibat teror "tanggal tua".
Ada banyak tip dan trik mengatasi tanggal tua di berbagai situs internet. Tinggal buka, baca, dan coba terapkan. Pilihannya empat: (a) menurunkan pengeluaran, (b) menaikkan pendapatan, (c) kombinasi (a) dan (b), (d) jawaban (a), (b) dan (c) benar.
Berhasil? Mungkin ya, mungkin tidak. Di mana-mana tip dan trik itu gampang dihapal, tetapi sukarlah dijalankan, bahkan mungkin oleh pengarangnya sendiri.
Misalkan tak kunjung berhasil mengatasi teror tanggal tua, maka ada satu solusi yang layak dipertimbangkan. Tinggalkan pekerjaan formal kantoran, banting setir (dan tulang) jadi petani. Sudah banyak orang kantoran yang melakukannya. Cari saja kisahnya di internet.
Kompasianer Inosensius I. Sigaze sudah menunjukkan bahwa petani desa itu merdeka dari teror tanggal tua (Baca: Apakah Para Petani Mengenal Tanggal Tua? (K. 14/10/2021)).
Sambil mengamini artikel Pater Ino, panggilan akrabnya, saya ingin menambahkan beberapa catatan remeh-temeh perihal kemerdekaan petani dari teror tanggal tua itu.
Tidak Ada Tanggal Tua tapi Bulan Paceklik
Siklus penghasilan petani itu musiman. Durasi satu musim tergantung jenis tanaman yang diusahakan. Ada 2-3 bulan (sayuran), ada 3-6 bulan (pangan), dan ada yang tahunan (buah-buahan).
Periodik pertanaman macam itu menyebabkan petani tak kenal istilah tanggal tua. Tapi akrab dengan bulan-bulan paceklik. Bulan-bulan paceklik ini adalah masa menunggu hasil atau panen (gestation period).
Jika mengambil kasus petani mayoritas, yaitu petani padi, maka ada dua bulan (masa) paceklik.
Pada musim tanam pertama, bertepatan musim hujan Oktobe-Maret, maka bulan pacekliknya adalah Januari-Pebruari. Untuk musim tanam kedua, bertepatan musim kemarau April-September, maka bulan pacekliknya adalah Juli-Agustus.