Kawasan Danau Toba (KDT) beda makna di mata pemukim dan pelancong. Bagi pemukim, etnis Batak, dia arena penghidupan. Bagi pelancong, turis dari ragam etnis/ras, dia ajang pengalaman.
Beda makna maka beda nilai. Pemukim mengutamakan nilai sosio-ekonomi KDT. Pelancong mengutamakan nilai sosio-psikologisnya.
Bagi pemukim KDT itu indah sejauh mewadahi mata pencaharian. Titik beratnya produksi untuk pemenuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Titik berat pelancong adalah kepuasan. Baginya KDT indah sejauh memuaskan kebutuhan rekreasi, tualang, olahraga, ekspose, eksplorasi, dan spiritual.
Beda titik berat bermakna beda kepentingan antara pemukim dan pelancong. Itulah risiko konflik kepentingan "orang dalam" dan "orang luar".
Risiko seperti itu niscaya terjadi dalam proses pengembangan KDT menuju destinasi super prioritas (DSP). Sekecil apapun itu mesti diantisipasi untuk dimitigasi. Agar dia tak menghambat pewujudan DSP Toba.
Dalam konteks pengembangan DSP Toba, bagaimana cara menjembatani konflik kepentingan pemukim dan pelancong itu? Salah satu cara adalah penerapan paradigma etnowisata.
Preseden Konflik Sigapiton
Siapakah ahliwaris KDT, Heritage of Toba itu? Pemukim Batak, "orang dalam", akan mengklaim diri ahliwaris pertama sekaligus pemanfaat utama.
Tapi "orang luar", para pelancong, akan bilang KDT itu warisan dunia untuk kemaslahatan semua orang. Mereka juga berhak menikmati manfaatnya.
Konflik timbul bila dua klaim hak pemanfaatan itu gagal dijembatani. Konflik pertanahan di Desa Sigapiton, bagian dari Key Touirism Area (KTA) Parapat, bisa jadipembelajaran.