Seusai tampil dengan busana adat harian Baduy dalam kesempatan Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR RI di Kompleks Parlemen, Gedung DPR/MPR, Jakarta tanggal 16 Agustus 2021 lalu, Presiden Joko Widodo langsung mendapat risakan etnosentris dari sejumlah orang.
Sekurangnya ada tiga risakan yang viral di ragam medsos dan media daring. Pertama, lewat akun Twitternya, seorang jurnalis media online bernama MB mencuit, "Azzzsksksks Jokowi make baju adat Baduy cocok bgt, tinggal bawa madu + jongkok di perempatan."
Kedua, dalam satu WAG, seorang mantan anggota DPRDbernama SA membagi pesan, "Indonesia dikenal negara besar yg berpotensi sbg negara maju tentu kurang bijak klo pemimpinnya di HUT KEMERDEKAAN bukan waktu yang tepat untuk menampilkan performance bagian dari suku yang relatif terbelakang."
Ketiga, lewat akun Twitternya, seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai RG mencuit, "Pakaian adat dengan kelakuan biadab. Ya bernilai sampah. :)"
Saya hanya akan memusatkan diskusi pada dua risakan tersebut pertama. Risakan ketiga saya abaikan karena dua alasan: seseorang bernama RG telah membantah cuitan itu bukan cuitannya, karena dia mengaku tak punya akun Twitter dan, ini yang terpenting, cuitan itu tak tergolong risakan etnosentris.
Etnosentrisme: menilai etnis lain menggunakan ukuran etnis sendiri.
Sebelum berangkat jauh, saya perlu sampaikan dulu batasan konsep etnosentrisme. Merujuk Encyclopedia Britannica, etnosentrisme menunjuk pada keyakinan akan superioritas budaya etnisku atas budaya etnis lain.
Sebagai contoh saja, seorang etnis Batak menilai etnis Jawa lemah. Orang itu menggunakan ukuran etnisnya tentang sifat kuat: bicara tegas dan keras. Kesimpulannya: etnis Batak kuat, etnis Jawa lemah.
Kesimpulan itu disebut stereotip sosial, suatu prasangka sosial terhadap etnis lain sebagai hasil penilaian yang bersifat etnosentris. Karena sifatnya sepihak, dan terlalu menyederhanakan, maka stereotip umumnya tak sesuai dengan kenyataan.
Pada contoh di atas, sejatinya tidak ada fakta empiris yang bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan orang Jawa secara sosial lebih lemah dibanding orang Batak. Jadi, jika ada seorang Batak mengatakan orang Jawa lemah, maka itu masuk kategori merendahkan, menghina atau menista etnis lain.
Etnosentrisme: stereotip etnis Baduy yang terbelakang.
Sikap etnosentris berakibat warga etnis-etnis yang merasa lebih paling maju menilai etnis Baduy itu terbelakang. Indikasinya terbaca jelas pada dua kalimat risakan di atas. Kedua perisak, jika merujuk posisi sosial dan tempat tinggalnya, diduga menilai diri sebagai bagian dari etnis maju.