Untuk pertama kalinya saya harus berhadapan dengan seorang Kompasianer yang ngeyelnya gak ketulungan. Hendak diberi verifikasi biru Kompasiana, eh, menolak mentah-mentah. Pakai misuh-misuh lan ngambeg pula. Ampun, deh. Ada pula orang macam itu di Kompasiana.
Kompasianer itu sudah berpangkat Fanatik dengan poin 63,642 poin. Jauh di atas jumlah poin Engkong Felix yang juga sudah mendadak Fanatik. Bedanya, tanpa sadar, Engkong Felix sudah verifikasi biru sejak 2014.
Produktivitas Kompasianer itu memang luar biasa. Sudah menulis 1,659 artikel. Sebanyak 1,176 artikel (71%) menjadi Pilihan Admin K. Dan 13 artikel (0.8% dari total; 1% dari Pilihan) menjadi Artikel Utama. Kecil ya? Ya, tapi kata Schumacer, "kecil itu itu."
Jika dihitung-hitung sejak tahun 2018, tahun menjadi Kompasianer, maks sampai sekarang (2021), dia menulis artikel rata-rata 553 judul per tahun, atau rata-rata 1.5 judul artikel per hari. Luar biasa! Kapan tarik nafasnya, ya.
Hanya Kompasianer Pak Tjip dan Mas Ted yang mampu mengalahkan persistensinya. Kalau Engkong Felix, Daeng Khrisna, Daeng Rudy, Uda Zaldi, aih, gak bisalah memepetnya. Secara para Kompasianer ini laki semua. Gak elok, kan?
Mayoritas tulisan Kompasianer itu adalah puisi. Sehingga bolehlah dia digelari Ratu Puisi Kompasiana. Harusnya dalam Kompasianival ada Penghargaaan Penulis Puisi Terbanyak.
Soal kualitas puisi-puisinya, jangan ditanya. Jika Admin K memberi label Pilihan, berarti puisinya ada mutu, dong.
Saya sendiri tak begitu paham kriteria puisi yang bagus. Yang kutahu, kalau suatu puisi susah dimengerti, biasanya terpilih jadi Artikel Utama di Kompasiana.
Banyak dari puisi Kompasianer itu yang sulit, sangat sulit, saya mengerti. Jadi, silahkan simpulkanlah sendiri.
Mempertimbangkan kinerjanya di Kompasiana, dan fakta sampai hari ini dia masih kelas centang hijau, maka saya berinisiatif untuk menganugerahi Kompasianer itu verifikasi biru.
"Najis! Aku gak butuh pengakuan Engkong Felix!" katanya ketus, sambil melengos, lalu sembunyi di kebun sepohon tomat.