Epidemolog Universitas Indonesia (UI) sedangan menggalang petisi penolakan komersialisasi vaksin, atau vaksin berbayar, oleh BUMN PT Kimia Farma Tbk (KF). Petisi ditujukan kepada Presiden Jokowi, Menteri BUMN Erick Tohir, dan Menkes Budi S. Gunadi. Agar rencana komersialisasi vaksin dibatalkan. Dan agar regulasi yang membolehkan hal itu (Permenkes No.19/2021) direvisi. [1]
Sementara itu Menkeu Sri Mulyani dalam Raker dengan Banggar DPR RI (12/07/2021) memastikan ketersedian dosis vaksin gratis untuk 70 persen penduduk Indonesia. Vaksin itu diadakan menggunakan dana APBN. Masalah pemerintah sekarang adalah percepatan laju vaksinasi dengan target 1-2 juta orang. [2]
Satu hal perlu ditegaskan di sini, vaksin gratis berada pada skema yang berbeda dengan vaksin berbayar. Vaksin gratis dibiayai APBN, sedangkan vaksin berbayar (impor) KF dibiayai dengan modal kerja BUMN itu sendiri. Vaksin gratis menggunakan merek Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavax. Sedangkan vaksin berbayar menggunakan merk Sinopharm. Kementerian Kesehatan sudah memastikan, merek vaksin gratis tidak boleh digunakan untuk vaksin berbayar. [3, 4]
Jelas bahwa kehadiran vaksin gratis secara bersaman dengan vaksin berbayar tidak bersifat zero sum. Artinya, kehadiran vaksin berbayar tidak mengurangi jumlah dosis vaksin gratis. Tapi sebaliknya menambah stok vaksin secara nasional. Jadi, vaksin berbayar tak mengurangi akses 70 persen warga (syarat imunitas komunitas) terhadap vaksin gratis. Sebaliknya menambah akses terhadap layanan vaksin secara gratis, melalui jalur berbayar atau komersil.[5]
Jika kehadiran vaksin berbayar tidak mengutangi akses 70 persen warga target vaksin gratis malah sebaliknya menambah peluang dan jenis jalur vaksinasi bagi warga Indonesia, maka di mana letak ketidak-adilannya. Di mana letak pengingkaran pemerintah terhadap komitmen vaksin gratis untuk rakyat. Di mana letak kekejian pemerintah mencari untung dari rakyat yang sedang kesusahan?
Sekadar mengingatkan, vaksin berbayar KF itu sejatinya bagian dari vaksin gotong-royong berbayar yang dikoordinasi oleh Kadin. Selain untuk konsumen korporasi, yang memvaksin nakernya, vaksin berbayar itu -- menurut Permenkes 19/2021) -- juga boleh dipasarkan kepada konsumen individu. Kalau masalahnya komersialisasi, mengapa vaksin berbayar untuk korporasi tak dipersoalkan? [6]
Ada yang mengatakan bahwa vaksin berbayar itu kejam. Katanya, ibarat rakyat tertimpa bencana banjir, lalu pemerintah menyediakan dua opsi penyelamatan: pakai tongkang gratis tapi penuh sesak, atau pakai kapal pesiar tapi harus bayar tiket. Tentu saja itu argumen ikan hering merah (red herring argument), argumen yang keluar dari konteks persoalan, semata-mata untuk memaksakan ide pemerintah yang lalim, kejam, dan tak berkeadilan.
Argumen itu tak relevan karena mengabaikan perbedaan antara pemerintah sebagai entitas politik dan organisasi pemerintah, termasuk BUMN seperti KF, sebagai entitas bisnis. Masing-masing entitas itu bekerja dengan landasan undang-undangnya sendiri. Tidak boleh dicampur-adukkan, atau dianggap sama saja (sama-sama pemerintah).
Bekerja berdasar UU BUMN 19/2003, suatu BUMN seperti KF dimaksukan antara lain untuk: pertama, memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; kedua, mengejar keuntungan; ketiga, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak (Pasal 2).
Dari tiga tujuan BUMN tersebut, manakah yang diingkari oleh KF dengan melakukan komersialisasi vaksin Covid-19. Penerimaan pada negara, terpenuhi. Keuntungan, terpenuhi, walau nilainya mungkin terbatas. Kemanfaatan umum, ya, karena memberi peluang lain jalur vaksinasi bagi khalayak.
Mungkin harganya dianggap terlalu tinggi? Harga vaksin Sinopharm Rp 321.660 per dosis, tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp 117.910 per dosis. Jadi total harga dua dosis Rp Rp 879.140. Kalau harga ini dianggap terlalu tinggi, silahkan kritik dengan memberikan perhitungan harga yang selayaknya.