Di Widuran, kota Solo, di emperan sebuah toko oleh-oleh, mataku tertumbuk pada artefak masa kecil di puncak gunung Toba: kue onde ketawa.
Nostalgia kue onde ketawa, dalam rupa gambar hidup, tertayang jernih pada layar ingatanku. Begitu jernih.
Seorang anak kecil; berdiri tegak menengadah di teras sebuah kedai kopi; tatap matanya lekat pada sebuah toples; di dalamnya bersusun kue onde ketawa; rekah berselimutkan butir-butir wijen; memancing liur keluar dari tenggorokan; mengaliri lidah dalam mulut yang rekah nganga; turun di kedua ujung bibir; mengalir dan bertaut di bawah dagu; membentuk tetesan liur; menggantung sejenak lalu jatuh di pangkal kerah kemeja; menyusup ke sela-sela jalinan benang katun; lalu mengering; tapi kue onde ketawa masih di dalam toples; tertawa kepada anak kecil itu; yang tak punya uang seringgit untuk membelinya; hanya aliran dan tetesan liur yang menghiburnya.
Nostalgia kue onde ketawa, dalam rupa gambar hidup, tertayang jernih pada layar ingatanku. Begitu jernih, begitu perih.
Dua aliran air hangat; turun dari pelupuk mataku; menyusuri lekuk pipi kiri dan kanan, melewati kedua ujung bibir; turun lalu beraut di bawah dagu; membentuk butiran air mata, lalu jatuh di pangkal kerah kemeja;menyusup ke sela-sela jalinan benang katun; lalu mengering.
Di Widuran, kota Solo, kususuri jalan sepanjang trotoar, sambil mengunyah kue onde ketawa, dan berjuang mendustai nurani, bahwa aku telah menyembuhkan goresan luka perih di hati anak kecil itu. (eFTe)
Gang Sapi Jakarta, 6 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H