Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

[Poltak #059] Marah dan Darah di Kasti

Diperbarui: 17 Juni 2021   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Bagi murid-murid SD Hutabolon, tahun-tahun berlari tanpa terasa. Tiba-tiba saja sudah Hari Natal.  Lalu seminggu kemudian Tahun Baru. Itu artinya naik kelas.  Atau tinggal kelas, jika tidak pintar.

Begitulah.  Hari itu Senin, 4 Januari 1971. Poltak dan kawan-kawannya, semuanya 18 anak, sudah duduk di kelas baru, kelas empat. Guru Marihot sudah melepas mereka tahun lalu dari kelas tiga.

"Pak Guru bangga pada kalian.  Semua naik ke kelas empat.  Tahun depan, kalian akan duduk di ruang kelas empat. Tempatnya di gedung sekolah kita di bawah sana.  Tidak lagi di gereja ini."  Suara Guru Marihot bergetar.  Murid-murid diam, memendam rasa haru, juga terimakasih.

"Tetaplah rajin belajar. Jangan menjadi keledai." Guru Marihot menatap Poltak lalu Jonder.  

"Satu lagi pesan Pak Guru.  Hormati selalu gurumu," pungkasnya. Lalu Guru Marihot menoyor kepala setiap murid sebagai salam perpisahan.

Guru Paruhum, dialah guru kelas empat.  Usia tigapuluh tiga tahun. Perawakan tinggi besar, tubuh atletis, cocok dengan tugasnya sebagai guru pembina olahraga.  Rambutnya ikal, kulit sawo matang. Kalau bicara, suaranya menggelegar, tapi rajin senyum.

"Pak Guru absen dulu kalian," katanya dengan suara menggelegar.  Murid kelas empat telah duduk tertib di ruangan, selepas upacara bendera sekaligus penerimaan murid kelas satu di halaman sekolah.

"Nama yang bapak panggil, angkat telunjuk, ya.  Adian, Alogo, Berta, Binsar, Bistok, Dinar. Gomgom, Jojor, Jonder, Marolop, Nalom.   Poibe,  Polmer, Poltak, Risma, Saur, Togu, Tiur.  Semua delapanbelas orang.  Hadir semua, ya."  

Guru Paruhum menyapukan pandangannya ke wajah seluruh murid, sambil tersenyum.

"Di kelas tiga kalian sudah mendapat pelajaran baru.  Ilmu Bumi, Sejarah, dan Bahasa Batak.  Di kelas empat kalian mendapat pelajaran baru lagi. Ilmu Hayat dan Civic."  Murid-murid khidmat mendengarkan.

"Tapi hari ini kita belum belajar.  Kita mulai besok.  Sekarang kita bermain kasti dulu." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline