Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Menjadi Profesor Kenthirisme di Kompasiana

Diperbarui: 11 Juni 2021   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Profesor Paul Feyerabend, inspirasi paham Kenthirisme Felux Tani (Foto: pkfeyerabend.org)

"Profesor Kenthirisme" adalah sebuah jenama (brand).  Itu melekat pada Kompasianer Felix Tani (FT).  Bukan terbentuk secara seketika dan bersengaja.  Tapi lewat proses panjang, selama 2014-2021, dan takterduga. 

Pada bulan-bulan pertama FT menulis di Kompasiana, tak pernah terpikirkan gagasan menabalkan diri sebagai Profesor Kenthirisme. Awalnya, hanya ingin menulis dan menulis saja.  "Memberi yang terbaik untuk perubahan", begitu taglinenya waktu itu.  

Tagline itu yang mengantar FT meraih verifikasi biru.  Karena, berdasar spirit itu, menulis artikel seputar pertanian, edukasi, ekonomi, sosial-budaya, dan politik menggunakan perspektif sosiologi.

Lantas bagaimana cara jenama "Profesor Kenthirisme" itu terbentuk dan melekat hingga kini pada Kompasianer FT?  Mulanya, jenama "profesor" dan "kenthirisme" itu terpisah sebagai jenama yang berdiri sendiri.  Tapi kemudian tersatukan.  Saya akan ceritakan proses terbentuknya, sudi atau tak sudi Anda mendengar.

Terbentuknya Jenama "Profesor"

Jenama "Profesor" terbentuk secara taksengaja dalam proses penulisan seri artikel metode penelitian kualitatif di Kompasiana.  Nomor pertama seri itu, "Penelitian Kualitatif #001: Apa Batasannya?" tayang di Kompasiana pada 6 Februari 2015.  Jumlah  artikel seri itu seluruhnya ada 39  nomor.   Nomor terakhir, "Penelitian Kualitatif #039: Ciptakan Sendiri Kategori Datamu" tayang pada 18 Agustus 2015.    

Tingkat keterbacaan seri artikel penelitian kualitatif itu, menurut ukuran sekarang, sungguh menakjubkan.  Bisa melewati angka 500 pageviews.  Sebagian kecil artikel itu menduduki Head Line, sebagian cukup besar Pilihan, dan sebagian lagi tanpa label. Itu tergolong angka keterbacaan luar biasa untuk jenis artikel akademis.   

Seri artikel pemelitian kualitatif itu memiliki sejumlah pembaca, skaligus penilai dan pengomentar, setia.  Saya sebutkan beberapa Kompasianer yang sampai kini masih aktif: Pebrianov, S. Aji, Susy Haryawan, Ronny Rachman, Taufan S., Johanis Malingkas, Jepe Jepe, Indria Salim, Giri Lumakto, dan Jati Kumoro.  

Rekan-rekan pembaca setia itu, dimotori oleh Susy Haryawan, Jati Kumoro, dan Pebrianov. kemudian menyematkan julukan "Profesor" pada FT.  Sebab interaksi antar FT dan pembaca pada seri artikel itu dibayangkan seperti "kelas kuliah".  Dosennya FT dan mahasiswanya para pembaca setia.  

Julukan "Profesor" itu jelas sebuah candaan, bukan gelar sesungguhnya. Itu semacam penganugerahan gelar "Profesor Humoris Causa" untuk FT. 

"Gelar" itu jemudian menjadi nama sapaan yang terbawa ke artikel-artikel lainnya. Kebetulan artikel-artikel FT itu memang selalu berpijak pada data dan menggunakan kerangka teori atau konsep sosiologi, walau tak selalu eksplisit. Maka sebutan "Prof. Felix"kemudian  menjadi sesuatu yang biasa dalam kolom tanggapan artikel FT, sampai sekarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline