Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

[Poltak #055] Kakek Pulang Ingkar Janji

Diperbarui: 9 Juni 2021   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Jarak antara suka dan duka rupanya hanya satu malam.  Tak seorangpun pernah memberitahu Poltak hal itu. Andaikan ada yang mengingatkan, mungkin hatinya  tak akan seluka dan seduka kini.

Di pucuk bukit Partalinsiran, Poltak duduk sendiri, sepi.  Sepasang matanya menatap ke arah barat, ke ujung punggung sebuah bukit, yang terpenggal oleh jalan raya Trans-Sumatera.  Di situ, di ujung punggung bukit, sebuah gundukan tanah merah mengunci tatapannya.

Seperti gambar hidup, terbayang pertemuan dengan kakeknya lima hari lalu di ruang rawat inap Rumah Sakit Tentara Pematang Siantar.  Kakeknya, neneknya, Parandum amangudanya, dan dirinya bahagia dalam senda-gurau.

"Kata dokter, tiga hari lagi ompung boleh pulang." Kakeknya meneruskan kabar gembira kepada Poltak.

"Ompung sudah sembuh?"

"Ompung merasa lebih sehat dari biasanya.  Janji, ompung pulang tiga hari lagi."

Berempat mereka tertawa.  Setiap orang yang dirawat di rumah sakit punya hanya  satu harapan: sembuh lalu pulang ke rumah.  Harapan itu tiga hari lagi akan menjadi kenyataan.

Tapi kenyataan lain datang sebelum harapan tiba. Sore hari Poltak dan neneknya  tiba kembali di Panatapan.  Besok harinya, pagi-pagi benar, seorang kerabat dari Siantar datang membawa kabar. "Ompu Poltak doli sudah dipanggil Tuhan. Beliau pulang ke rumah Panatapan siang ini." 

Itulah petir terdahsyat di pagi hari untuk Poltak dan neneknya.  

"Ompungni Poltak, kau jahat sekali. Janjimu, kau pulang tiga hari lagi. Kenapa kau pulang hari ini. Kau ingkar janji.  Kau membohongi aku.  Ompungni Poltak, siapalah nanti temanku mengolah sawah kita."  Nenek Poltak memarahi kakek Poltak dalam ratap-tangis dukanya.  

Poltak merasa kakinya hilang pijakan. Dia terduduk di teras rumah.  Diam seribu bahasa.  Wajahnya mendung, bingung.  Tubuhnya mematung.  Hanya air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline