Baru-baru ini viral "konflik" antara sekelompok "pesepeda" (roadbikers) dan seorang "pemotor" (motorist) di Sudirman Jakarta. Pada satu foto yang beredar di medsos, tampak pemotor menoleh ke belakang sambil mengacungkan jari tengahnya ke arah kelompok pesepeda. Itu umpatan jorok, kasar.
Apa yang telah terjadi? Dari teks yang beredar di medsos dan pemberitaan, diketahui pemotor itu sebelumnya telah membunyikan klakson panjang, minta jalan lewat mendahului pesepeda . Pasalnya kelompok pesepeda itu bergerombol di jalur tengah dan kanan jalan. Jalur-jalur itu diperuntukan bagi kendaran bermesin. Sepeda harusnya di jalur terkiri. [1]
Dari sudut pandang sosiologi kejadian itu sejatinya mencerminkan konflik sosial. Tepatnya konflik kelas, antara "kelas menengah" dan "kelas bawah", dalam masyarakat. Sebuah konflik terbuka yang dipanggungkan di tengah jalan raya, suatu ruang publik.
Menariknya, merespon kejadian itu, Gubernur Jakarta Anies Baswedan justru berencana mengeluarkan kebijakan yang memihak "pesepada", kelas menengah kota itu. Langkah itu justru akan mempertajam konflik kelas di jalanan.[2]
Saya akan bahas soal itu nanti di belakang. Sekarang mau bahas konflik pesepeda dan pemotor dulu. Itu adalah representasi dari konflik-konflik antar kelas sosial yang terjadi di jalanan Jakarta.
Kelas Menengah dan Kelas Bawah di Jalanan Jakarta
Dalam konteks sosial-ekonomi Jakarta, "pesepeda jalanan" (roadbikers) termasuk kalangan kelas menengah masyarakat. Para pesepeda itu secara ekonomi tergolong kaya. Secara sosial punya pekerjaan formal mapan, punya jabatan atau kedudukan. Lalu, secara politik sedikit-banyak mereka punya relasi dengan penguasa.
Mereka naik sepeda bukan karena miskin, seperti warga Bantul yang tiap hari bolak-balik ke Yogyakarta. Mereka punya mobil, mungkin mobil mewah. Mereka juga punya motor, mungkin motor gede.
Naik sepeda berkonvoi adalah bagian dari gaya hidup (lifestyle) mereka. Khususnya untuk pemenuhan kebutuhan olahraga, rekreasi, dan eksistensi sekaligus.
Dalam rangka eksistensi, bersepeda bagi mereka menjadi wahana pemanggungan simbol status (status symbols), benda material penanda kesejahteraan dan kuasa kelas memengah. Sepeda, helm, kacamata, jersey, celana, kaus kaki, dan sepatu dengan merek tertentu, lazimnya produk impor dengan harga mahal, adalah simbol-simbol status kelas menengah.
Benda-benda material itu membedakan mereka dari pesepeda miskin di Bantul sana, yang hanya mengunakan sepeda onthel multifungsi dan caping sebagai simbol statusnya.