Saya punya teman lelaki yang menemukan jodohnya berkat rajin mengisi Teka Teki Silang (TTS) di koran Kompas Minggu.
Katacarita, pertengahan 1980-an, suatu ketika teman itu tampil sebagai pemenang TTS Kompas Minggu. Nama dan alamatnya lengkap terpampang di bagian bawah kolom TTS koran itu.
Ndilalah, sekitar seminggu kemudian dia mendapat kiriman selembar weselpos dan sepucuk surat. Weselpos dari Kompas, kiriman honorarium pemenang TTS. Surat itu, nah, pengirimnya seorang perempuan.
Ternyata surat itu adalah ajakan berkenalan dari seorang gadis. Katanya dia kagum karena temanku itu bisa mengisi TTS Kompas dan menang. "Pasti lelaki cerdas," katanya, menurut cerita teman itu padaku di kemudian hari.
Begitulah, honor dicinta jodoh tiba. Teman itu dan si gadis akhirnya menjadi sahabat pena, lanjut ke kopi darat, cocok lalu pacaran, dan akhirnya memperoleh Sakramen Perkawinan di Gereja Katolik. Oh, ya, keduanya penganut Katolik.
Itu mukjizat. Lazimnya, kalau via Kompas, seseorang jomlo menemukan jodohnya di Rubrik Kontak Jodoh. Tapi teman itu menemukan jodoh lewat rubrik TTS Kompad Minggu. Apa namanya itu, kalau bukan mukjizat.
Yen tak pikir-pikir, saya tiba pada simpulan Kompas cetak tempo dulu lebih memihak jomlo ketimbang Kompasiana kiwari. Bukan hanya rubrik jodoh, rubrik TTS Kompas Minggu dulu juga bisa jadi jalan pertemuan jodoh bagi jomlo.
Bandingkan dengan Kompasiana kini. Banyak jomlo lalu-lalang di Kompasiana. Mereka menulis artikel tiap hari, termasuk artikel love dan diary. Bahkan ada yang sampai mempromosikan kejomloannya, seperti Mas Ozy dan Bung Guido. Tetap saja mereka belum ketimpa jodoh.
Padahal, kurang apa sebenarnya jomlo-jomlo Kompasiana. Orang-orang muda, seperti Mas Ozy dan Bung Guido, itukualitasnya lebih dari sekadar pemenang TTS Kompas Minggu. Mereka adalah jomlo-jomlo bermutu tinggi, sekurangnya penulis yang artikel-artikelnya meraja di daftar Artikel Utama Kompasiana. Toh, tetap saja jodohnya entah di mana.
Memang, dulu pernah juga terjadi Kompasianawan menikah dengan Kompasianawati. Tapi itu kasus jarum ketemu di tumpukan jerami. Ketaklaziman yang berujung bahagia. Tak pernah terulang lagi.
Kesimpulannya, Kompasiana itu tak memihak pada nasib jomlo. Rekomendasinya, kalau jomlo mau dapat jodoh, jangan menulis Artikel Utama di Kompasiana. Solusinya, cobalah mengisi TTS Kompas Minggu.(efes)