Perang terjadi antara tentara Israel dan tentara Palestina di Jalur Gaza Timur Tengah. Tapi mengapa dua anak Indonesia yang menjadi korban di rumahnya sendiri?
Dua Humor Gelap
Dalam buku Mari Ketawa Cara Rusia, Z. Dolgopolova menuturkan sebuah humor gelap Rusia dari era Perang Dingin (1947-1991). Suatu ketika seorang warga Amerika Serikat mengunjungi temannya, warga Rusia, di Moskow Rusia Uni Soviet. "Di Amerika, kami bebas bicara. Kami bebas memaki-maki Presiden Amerika. Tidak akan ditangkap polisi." Si Amerika menyombongkan demokrasi di negaranya.
"Oh, di sini juga bisa," kata Si Rusia. Dia mengajak Si Amerika ke gerbang Istana Kremlin, lalu berteriak sekeras-kerasnya, "Hei! Kau! Presiden Amerika! Bajingan kau!" Setelah itu dia berujar kepada Si Amerika, "Lihat! Adakah polisi Rusia yang menangkapku?"
Dalam era demokrasi pasca-reformasi, tepatnya Mei 2021, Indonesia ramai oleh sebuah humor gelap faktual. Di media massa dan media sosial, tersiar kisah dua orang anak negeri ini mengalami nasib malang lantaran bikin tayangan TikTok dengan konten menghina Palestina yang sedang berperang dengan Israel.
Menurut berita, seorang di antaranya, anak Lombok NTB, ditangkap dan ditahan polisi dengan sangkaan melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Seorang lagi, anak Bengkulu, dikeluarkan dari sekolah karena perbuatannya dinilai melampaui batas toleransi aturan sekolah.
Komparasi dan Ironi
Ada kandungan ironi pada komparasi dua humor di atas. Kendati sama-sama berisi penghinaan terhadap pihak di luar negaranya, tapi konsekuensi hukumnya beda. Di situ letak ironinya. Lepas dari kenyataan yang satu fiksi dan satunya lagi fakta.
Si Rusia dalam humor Dolgopolova tidak ditangkap oleh polisi. Bisa diduga alasannya. Dia meneriakkan kebencian kepada Presiden Amerika Serikat, simbol negara adidaya yang jadi musuh Uni Soviet semasa Perang Dingin.
Si Rusia itu mungkin dinilai sedang mengekspresikan nasionalismenya. Sesuatu yang dianggap heroik, layak dan pantas. Tentu kisahnya akan beda jika dia memaki Presiden atau PM Rusia.