Maaf. Saya harus membuat judul berisi dua kata bernada taksantun, "sesat" dan "(men)dungu(kan)". Artikel ini menyampaikan kritik keras pada dunia pendidikan tinggi era daring (online) kini. Saya tak menemukan padanan kata yang dampak psikisnya lebih jitu dibanding dua kata itu.,
Anak saya, seorang mahasiswa, bercerita tentang teman-temannya yang menggunakan jasa joki dalam proses perkuliahan daring. Caranya gampang. Bayar seorang joki, bisa mahasiswa senior (bisa beda fakultas atau perguruan tinggi), guru les (atau dosen les?), atau joki profesional.
Saat ujian secara daring, joki diminta mengerjakan soal-soal ujian. Begitu juga untuk tugas makalah atau paper mingguan dan akhir semester, joki itulah yang diminta mengerjakan. Mahasiswa tinggal terima jadi.
Ada kalanya mahasiswa itu malah pergi berdugem-ria. Dia menyerahkan segala urusan kewajiban ujian, makalah, dan paper itu kepada joki kuliah. Pada ujungnya, penyusunan urusan skripsi juga diserahkan kepada joki kuliah, atau joki spesialis skripsi.
Sekarang ini tak sulit untuk mendapatkan jasa joki kuliah. Tinggal berselancar di internet. Di situ tersedia ratusan, mungkin ribuan, penyedia jasa joki perkuliahan. Mereka siap setiap waktu untuk membuatkan jawaban soal ujian, menyusun makalah.paper, membuat proposal, sampai pada penyusunan skripsi. Harga jasanya juga sudah dipatok. Tinggal transaksi, beres kewajiban kuliah.
Dalam perkuliaan luring di masa lalu, praktek joki sebenarnya juga sudah ada. Kerap terjadi praktek joki ujian masuk perguruan tinggi. Lalu ada joki skripsi, bahkan ada kios atau lapaknya. Tinggal pesan skripsi dengan topik X, teori Y, dan metode penelitian Z. Mulai proposal dan laporan skripsi dikerjakan joki. Mahasiswa hanya maju saat Sbimbingan kepada dosen dan kemudian ujian skripsi. Setelah itu semua, hebatnya, lulus jadi sarjana.
Jika dalam perkuliah luring yang bersifat tatap-muka saja mahasiswa bisa menggunakan jasa joki, apalagi dalam perkuliahan daring (online) yang mendadak menjadi praktek jamak dalam masa pandemi Covid-19 ini.
Masalahnya sistem perkuliah daring yang dipraktekkan perguruan tinggi Indonesia kini tak dilengkapi dengan instrumen kontrol integritas mahasiswa. Identifikasi plagiasi ada aplikasinya, tapi untuk identifikasi joki, belum ada. Atau, sebenarnya ada, tapi belum diintegrasikan dalam sistem perkuliah daring di Indonesia.
Sebagai contoh, University of the People (UOP), sebuah universitas daring yang berbasis di Pasadena California, sebenarnya bisa menjadi teladan. UOP menggunakan kinerja keaktifan mahasiswa dalam kelas kuliah sebagai dasar penilaian. Jika mahasiswa pasif maka nilainya jelek.
Sebaliknya, jika mahsiswa aktif maka nilainya bagus. Mekanismenya seperti seseorang memberi pendapat langsung dalam suatu rapat daring. Dengan demikian tidak ada ruang masuk untuk peran joki.
Gejala perjokian dalam perkuliahan jelas berdampak buruk pada mutu lulusan perguruan tinggi. Dengan begitu, ia juga menurunkan mutu perguruan tinggi itu sendiri. Bayangkan, misalnya seorang mahasiswa masuk perguruan tinggi lewat jasa joki ujian masuk perguruan tinggi. Lalu sepanjang kuliah dia menggunakan jasa joki untuk mengerjakan ujian tertulis, makalah mingguan, paper mata kuliah, sampai skripsi.