Marahnya Mas Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, kepada Guru SMAN 1 Solo tak ada hubungannya dengan kualitas proses belajar-mengajar. Kemarahan itu dipicu ketakdisiplinan sejumlah guru menerapkan prokes Covid-19, dalam rangka penerapan proses belajar tatap muka. Beberapa orang guru ternyata tak mengenakan masker sebagaimana mestinya. Hanya digantungkan di leher.
"Tadi yang nggak pakai masker, namanya akan saya catat satu-satu. Ini serius, jangan main-main demi keselamatan anak-anak kita." Mas Gibran meradang. [1]
Guru-guru SMAN 1 Solo yang dicatat namanya, tak usah risau atau takut. Perhatikan baik-baik: hanya catat nama. Tak dijatuhi sanksi. Malahan semestinya bangga, karena namanya ada dalam buku catatan Mas Wali Kota.
Sebenarnya Mas Gibran juga terlalu cepat marah. Baiknya, kan, ditanya dulu kenapa masker digantung di leher. Apakah karena menganggap masker berfungsi ganda, atau kekeliruan memahami konsep "pakai masker"?
Tentang fungsi ganda masker, bukan rahasia lagi. Selain untuk menangkal virus dan debu, masker kini juga berfungsi aksesoris. Malahan fungsi aksesorisnya lebih menonjol ketimbang fungsi kesehatannya. Misalnya, lebih penting motifnya ketimbang bahannya. Yang penting keren. Sehat, ya, mudah-mudahan.
Selain itu masker juga bisa dipakai untuk menyembunyikan bekas cupang, jerawat batu, panu, dan kurap di leher. Siapa tahu itu alasannya beberapa orang guru SMA 1 Solo mengantungkan masker di leher.
Soal pemahaman konsep "pakai masker" lebih ribet lagi. Menurut pakemnya masker dipakai menutup mulut dan hidung, mulai dari dagu sampai pangkal hidung (jangan sampai menutupi mata).
Tapi, entah ajaran dari mana, ada juga pemahaman lain tentang pakai masker. Variannya cukup kocak: masker kalung, dipakai sebagai kalung di leher; masker jenggot, dipakai di dagu saja; masker anting, digantung pada sebelah kuping; dan masker bandana, dipakai di jidat. Itu termasuk pengertian pakai masker juga. Hanya saja, masker tak dipakai sebagai penutup mulut dan hidung.
Cara pakai masker seperti itu memang terkesan membodohi. Sebab manalah pula ada manusia bernafas dengan leher, dagu, kuping, atau jidat. Memangnya ikan, bernafas dengan insang (di leher, ada yang tahu di mana letak leher ikan?). Wajar juga kalau bikin kesal.
Kendati begitu, para pemakai masker secara tak lazim itu tak bisa juga diberi sanksi. Sebab tidak ada, misalnya Permenkes RI atau Perdakot Solo, yang mengatur cara pakai masker dan sanksi pelanggarannya.
Baiklah. Karena Mas Gibran sudah kadung mencatat nama-nama guru yang dianggap tak pakai masker sebagaimana seharusnya, maka harus ada tindak-lanjutnya. Jangan cuma dicatat saja. Mas Gibran, kan, bukan juru catat, tapi Wali Kota Solo.