"Waktu itu beberapa umat mau keluar, pagar mulai terbuka. Ada yang keluar dan ada yang masuk, jadi saya tahan, tiba-tiba meledak, langsung saya bilang, 'Tuhan, tolong saya'." -Kosmas Balembang [1]
Katedral Makasar, Minggu 28 Matet 2021, pukul 10.30. Misa Minggu Palma baru usai. Umat berjalan keluar dari gereja melalui gerbang depan. Saat bersamaan, umat yang hendak mengikuti misa berikutnya juga masuk lewat gerbang yang sama.
Tiba-tiba Kosmas Balembang, relawan keamanan Katedral, dikejutkan kedatangan pemotor berboncengan yang memaksa masuk ke halaman Katedral. Penumpangnya dua orang.
Kosmas merasa ada yang tak lazim. Dia sudah menjadi relawan di situ sejak kanak-kanak, menemani almarhum ayahnya. Dari pengalaman, dia bisa membedakan tampilan dan pakaian orang yang mau ibadah dan yang bukan.
Nuraninya mengatakan, pemotor ini bukan hendak beribadah. Spontan, Kosmas pasang badan menghadang pemotor tak lazim itu, sambil merentangkan kedua tangannya.
Dan ... bum ... sebuah bom bunuh diri meledak di tubuh dua orang pemotor itu. Keduanya, pasangan suami-istri, ternyata adalah teroris. Orang yang siap mati untuk menciptakan ketakutan dalam masyarakat, demi memperjuangkan tujuan politik tertentu.
Ajaib. Kosmas selamat, sehat walafiat. Hanya luka bakar ringan di dada dan perut. Tak ada korban jiwa di kalangan umat, tapi ada 20 orang mengalami luka ringan sampai serius. Sementara kedua teroris itu tewas dengan tubuh hancur berkeping-keping.
Tentu ada penjelasan logis mengapa Kosmas selamat tanpa cidera berarti. Mungkin saja bom meledak di antara dua tubuh teroris itu. Sehingga semburan materialnya teredam oleh tubuh mereka, tak menjangkau tubuh Kosmas.
Tapi, andai pun begitu, atas kehendak siapakah Kosmas tepat berdiri di titik aman? Kendati merasakan ketaklaziman, Kosmas tidak pernah berpikir pemotor itu pelaku bom bunih diri. Dia hanya melakukan gerak menghadang efektif, bukan mengambil posisi aman.
Tuhan, ya, Tuhanlah yang telah menempatkan Kosmas pada posisi itu. Tepat seperti seruan doanya, "Tuhan, tolong saya!"