"Ya, Tuhanku, ya, Allahku, ampunilah pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar, sebab dia tak mengerti apa yang telah diperbuatnya. Amin."
Andaikan dua insan pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar bisa menghargai makna Minggu Palma, maka dia mungkin tak akan meledakkan diri di sana pada hari Minggu tanggal 28 Maret 2021, pagi sekitar pukul 10.28 WITA.
Bagi Gereja Katolik, Minggu Palma bermakna sebagai pengingat akan kehadiran Kristus, Raja Damai, di tengah umat yang mendamba kehidupan yang bebas dari segala derita akibat dosa.
Daun palma yang dilambai-lambaikan umat saat perayaan Minggu Palma adalah simbol kemenangan atas ketakutan, kekerasan, kesakitan, kehinaan, dan kematian.
Hari Minggu pagi kemarin (27/3/2021), umat Katolik Gereja Katedral Makasar baru saja usai melambaikan daun palma dalam perayaan misa. Mereka melangkah keluar gereja dengan daun palma di tangan. Suasana sungguh damai.
Tak dinyana, suasana damai itu tiba-tiba terkoyak hebat. Sebuah bom bunuh diri meledak di pintu masuk Katedral. Lagi, sebuah simbol kekerasan intoleratif dipanggungkan. Kontras dengan kedamaian yang disimbolkan daun palma.
***
Apakah Gereja Katolik, hirarki dan umat awam, marah atas kejadian bom bunuh diri di Katedral Makasar? Tidak, sama sekali tidak. Sebab tidak ada pihak yang harus dimarahi. Juga tidak ada alasan untuk marah.
Karena itu, mewakili Gereja Katolik, Mgr. Ignatius Suharyo, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), cukup menyatakan keprihatinan mendalam. Katanya, peristiwa bom itu merupakan kekerasan simbolik yang mestinya menjadi keprihatian seluruh bangsa. Itu saja. [1]
Kejadian bom bunuh diri di area Gereja Katolik bukan hal baru di negeri ini. Peristiwa semacam itu sudah berkali-kali terjadi, terutama di pulau Jawa. Beberapa kejadian bahkan makan korban jiwa umat Katolik dan umat Islam.