Kalau seorang perjaka punya pekerjaan hebat dan hobi keren, seganteng apapun tampangnya, pasti gampang mendapatkan calon mertua.
Calon mertua? Gak salah, tuh? Bukannya calon istri? Bukan! Calon mertua! Gak usah protes! Ini ceritaku!
Tapi Poltak semasa perjaka tingting bukanlah jomlo yang memikat bagi camer. Pekerjaanny mocok-mocok alias pengangguran terselubung. Hobinya cemen: mancing di kali atau terkadang di tebat tetangga. Tampang jauh dari jelek, artinya jelek banget.
Mana ada calon mertua yang berminat bermantukan jomlo kere macam Poltak itu. Kendatipun si calon mertua itu sebelas duabelas dengan Poltak, pastilah dia ogah berempati pada calon mantu semacam itu. Ini soal serius, soal masa depan anak gadisnya. Akan seperti apa nasib anak perempuannya jika menikah dengan manusia sejenis Poltak? Madesu, Kawan!
Itulah alasan yang membuat Poltak dua kali ditolak orangtua gadis pujaaannya sebagai menantu. Pedih, jenderal. Tapi, ya, itulah hidup. Penolakan adalah tanda kekurangan yang harus dilebihkan.
"Apa hobi kau, Poltak." Calon mertua menginterogasi Poltak dengan suara keras dan sorot mata tajam.
"Mancing ikan, Tulang," jawab Poltak tegas.
"Mancing ikan?" Calon mertua terdiam, tegang. Sejurus kemudian bicara keras kepada anak gadisnya, "Berta! Among larang kau menikah dengan Poltak!"
"Kenapa, Among?" Berta berurai air mata.
"Poltak ini suka mancing. Pernahkah kau lihat pemancing memberi umpan pada ikan yang sudah ditangkapnya? Tidak, kan? Dia akan pasang umpan untuk memancing ikan lain! Bakat poligami itu! Kau mau dimadu, Berta?"
Maka Poltak putus cinta dengan Berta. Tak apalah. Masih ada rokok. Putus cinta soal biasa, putus rokok luar biasa.