"Impor garam sudah diputuskan melalui rapat Menko beberapa waktu lalu. Tapi jumlahnya masih dihitung. Masih menunggu data kebutuhan garam di Indonesia. Nanti dihitung berapa kekurangannya. Itu yang akan di impor." - Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, 14 Maret 2021. [1]
Mengutip keterangan Trenggono, berita rencana impor garam itu muncul di "medaring" (media dalam jaringan), antara lain kumparan.com, pada hari ini (15/03/2021). Komentar bernada sinis kepada pemerintah langsung berhamburan. "Jokowi bilang benci produk impor. Nyatanya Luhut impor garam. Tak sesuai kata dan perbuatan. Munafik." Begitu kira-kira rumusan berbagai komentar sinikal itu.
Begitulah tabiat warganet. "Nyolot tapi bolot," atau, "Biar bolot asal nyolot." Tanpa periksa berita dengan seksama, langsung teriak menghakimi atau menghujat. Kira-kira semburannya, "Gue bilang juga apeh. Jokowi cuman pencitraan doang!"
Pencitraan dari pucuk Monas? Baca yang benar. Kata Trenggono, itu keputusan rapat Menko Maves (Kemaritiman dan Investasi) "beberapa waktu yang lalu." Tanya lagi "beberapa waktu yang lalu itu" kapan. Itu tahun lalu, tepatnya bulan Oktober 2020. Jauh sebelum Pak Jokowi mengajak bangsa ini membenci produk impor.
"Presiden setuju bahwa industri-industri yang untuk makanan dan yang butuh garam industri itu mereka mengimpor langsung dengan rekomendasi dari Kemenperin." - Luhut Binsar Panjaitan, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi. [2]
Itu pernyataan Pak Luhut seusai rapat terbatas virtual dengan Presiden Jokowi pada hari Senin Oktober 2020. Jadi, Pak Trenggono juga takakurat. Impor garam itu keputusan Ratas Presiden dengan antara lain Menko Marves. Jadi menteri itu, mbok yang akurat dikit, Pak Trenggono. Biar pemerintah gak jadi santapan tukang "binyir" (bibir nyinyir) melulu. Doyan amat, sih, dinyinyiri.
Perhatikan. Impor itu untuk kebutuhan industri makanan dan minuman domestik. Mekanismenya impor langsung, sebagai bahan baku industri. Bukan untuk konsumsi. Dilarang menjualnya ke pasar bebas. Kecuali senang diinterogasi polisi, jaksa, lalu divonis hakim untuk pindah kos ke Cipinang.
Memangnya produk garam domestik tak mencukupi? Tidak. Kebutuhan garam domestik rata-rata 4 juta ton per tahun. Sementara produk domestik rata-rata hanya 2 juta ton per tahun. Defisit 2 juta ton per tahun. Bagaimana cara menutup drfisit itu? Ya, imporlah. Mau mengharap hujan garam? Tunggu saja sampai lele bersisik.
Itu baru satu masalah. Masalah lain mutu garam rakyat di bawah standar yang dipersyaratkan industri mamin. Itu sebabnya mengapa per 22 September 2020 misalnya, ada 738,000 ton garam rakyat yang tak terserap industri. Lalu dari mana industri dapat garam kalau tidak impor.
Impor bahan baku industri yang tak tersedia dalam negeri tak bisa dihindari. Itu lebih baik ketimbang impor mamin ringan dari China misalnya. Nanti ribut lagi, "Perut bangsa Indonesia diinvasi makanan dan minuman dari negara komunis!" Ribet banget, ya.