Manguloki. Lae-lae ulok. Dua ungkapan bahasa Batak modern itu menceminkan hewan ulok, ular sebagai mahluk jahat, licik. Manguloki, meniru perilaku licik ular, dikenakan pada seseorang yang bertutur manis tapi sebenarnya sedang menipu atau berbohong demi keuntungan sendiri. Istiilah populernya sekarang, mengkadali (kata dasar: kadal).
Lae-lae ulok, begitu pula. Mengaku lae, ipar, demi mendapatkan keuntungan dari status itu. Dalam masyarakat Batak Toba, lae atau saudara laki-laki istri tergolong sebagai hula-hula (pihak pemberi istri) yang wajib hukum adatnya untuk dihormati, disungkun. Dengan menyebut diri lae, seseorang ingin secara licik memetik manfaat dari lawan interaksinya yang diposisikan sebagai boru (pihak penerima istri). Sebab ada umpasa, pepatah "durung do boru tomburan hula-hula", boru adalah tangguk ikan dan hula-hula adalah piring saji.
Tapi, dalam kultur asli Batak (Toba) ular ternyata tak dipersepsikan sebagai mahluk jahat, licik, apalagi respresentasi iblis. Dalam mitologi Batak, ular adalah mahluk penguasa Banua Toru, penjaga kesimbangan di dunia bawah yaitu bawah tanah dan air. Lalu mengapa dalam kultur Batak modern ular dipersepsikan sebagai simbol kejahatan, kelicikan, atau iblis?
Saya akan coba jelaskan pertanyaan terakhir ini nanti di belakang. Sebelum ke situ, berdasar mitologi, saya akan jelaskan dulu kedudukan ular dalam kultur atau keyakinan agama asli Batak Toba.
***
Dalam mitologi Batak Toba ada dua sosok ular mahapenting. Pertama, Nagapadoha, dewa penguasa bawah tanah di bumi manusia dan, kedua, Boru Saniangnaga, dewi penguasa badan air yang bersemayam di dasar danau, sungai, dan telaga.
Dalam mitologi Batak, Nagapadoha disebut sebagai salah seorang putra Debata Mangalabulan (unsur Tiga Dewata Batak: Bataraguru-Soripada-Managalabulan) dari istrinya Boru Anggarana. Putra lainnya adalah Siraja Odapodap. Selain dua putra, Mangalabulan juga berputrikan Boru Saniangnaga dan Boru Leangnagurasta.
Oleh Debata Mangalabulan, Nagapadoha diberi kuasa atas Banua Toru. Tugasnya memperingatkan manusia yang tidak mematuhi hukum-hukum yang dititahkan oleh Mahadewa Mulajadi Nabolon, Dewata Awal Mula Segala. Peringatan diberikan dalam bentuk bencana alam, semisal gempa bumi, letusan gunung, tanah ambruk, dan tanah longsor.
Manusia pertama yang mendapat peringatan dari Nagapadoha adalah Boru Deakparujar, putri Debata Bataraguru yang kabur dari Banua Ginjang, benua atas atau kayangan, ke Banua Tonga, benua tengah karena taksudi dinikahkan dengan Siraja Odapodap. Ketika menciptakan bumi berbekal sekepal tanah di benua tengah, Nagapadoha berkali-kali menimbulkan gempa yang merusak cikal-bakal bumi ciptaan Deakparujar. Hal itu terjadi karena Deakparujar telah membantah titah Mulajadi Nabolon untuk menikah dengan Siraja Odapodap.
Orang Batak memahami bencana gempa, letusan gunung, tanah anjlok, dan tanah longsor sebagai buah disharmoni manusia dengan alam. Manusia telah menimbulkan kerusakan alam, antara lain lewat penggundulan hutan, penggarapan lereng gunung dan tanah kritis, dan lain sebagainya. Akibatnya Mulajadi Nabolon, lewat Mangalabulan, marah dan memerintahkan Nagapadoha memberi pertanda dalam bentuk bencana.
Hal serupa berlaku sama dengan dewi air, Boru Saniangnaga. Dewi air itu ditugaskan Mangalabulan untuk mengingatkan manusia jika perilakunya merusak keseimbangan perairan. Kekeringan, banjir, dan ombak mengganas dipahami sebagai peringatan dari Boru Saniangninaga tentang kesalahan manusia. Penebangan hutan di sekitar mata air atau telaga dan daerah aliran sungai, serta pencemaran air danau, dipahami sebagai sumber bencana air, semisal banjir, kekeringan, dan kapal karam. Untuk itu rekonsiliasi dengan