Ular itu hewan politisi pertama dalam sejarah manusia menurut Bibel. Lantaran dia berhasil memprovokasi Hawa untuk memakan buah "Penyetaraan dengan Tuhan Allah" di Taman Eden, dan mengajak Adam untuk ikut menikmatinya. Itulah prototip provokasi politis yang direproduksi manusia sampai sekarang. Provokasi berbasis hoaks.
Tapi ini bukan hikayat "Ular Taman Eden", ular kuno yang aslinya konon punya dua pasang kaki seperti hewan imajiner "Naga." Ini hikayat seekor ular modern, hewan melata yang hidup liar, atau di kebun binatang, atau di rumah-rumah orang kaya yang hobi koleksi ular. Ini ular beneran, bukan kiasan.
Alkisah Ulara, seekor ular tikus berkelamin jantan, lesu kelaparan. Sudah sepanjang hari dia berburu mangsa, tapi tak menemukan seekor tikus pun. Tampaknya, dia tak pernah berselancar di internet sehingga taktahu informasi terakhir. Semua tikus di Savanatan, negeri kediamannya, telah dipenjara karena korupsi.
Sebenarnya Ulara sudah menurunkan standar menu: kadal atau cebong pun okelah. Tapi itu pun tak didapatnya. Dasar ular ketinggalan berita seabad, dia taktahu sedang ada mobilisasi kadal dan cebong untuk meramaikan kampanye pemilihan Presiden Republik Savanatan.
Mlungker menahan lapar tak terperi, pandangan nanar samar, Ulara merasa melihat ekor kadal bergerak-gerak gemulai. "Aih, rejeki ular jujur memang tak ke mana," soraknya dalam hati, penuh syukur dan semangat hidup.
Hap. Dengan tenaga terakhir yang tersisa, diterkam dan digigit lalu ditelannya kadal malang itu. Tapi ada yang terasakan aneh olehnya. Semakin digigit dan ditelannya kadal itu, semakin dia merasa badannya bertambah pendek. "Dewa Ularaja, alamat apa ini?" bathinnya cemas.
"Hei, Ulara! Kenapa kau menggigit dan menelan ekormu sendiri?" Ulari, seekor ular betina yang sedang ditaksir Ulara, tiba-tiba muncul dan menegur Ulara.
"Hah? Aku gigit ekor sendiri? Oh, tidak!" Ulara tersadar, berteriah dalam hati. Tapi dia ogah mengaku salah. Gengsi, dong. Secara, dia ada dihadapan Ulari, ular betina jelita yang selama ini mengisi mimpi-mimpinya.
"Begini, Dik. Ini kan ekorku sendiri. Aku sedang bereksperimen. Mau tahu seperti apa rasanya menggigit dan menelan ekor sendiri." Yah, begitulah. Ular adalah ular. Sejujur-jujurnya ular tetaplah dia pembohong.
***
Hikayat "ular gigit ekor" itu, bagi orang bijak-bestari, adalah sebuah tamsil. Tentang orang yang melakukan hal bodoh, tapi tak sudi mengakuinya. Semata karena gengsi. Orang bodoh merasa cerdas, orang cerdas merasa bodoh. Atau, orang salah merasa benar, orang benar merasa salah.