Berhasil menemukan kesalahan orang benar itu kepuasannya tak tertandingi. Itu benar belaka untuk tipe manusia SMS -- senang mencari-cari salah -- yang doyan mengorek-ngorek tong kesalahan orang lain. Maksudku, tipe manusia yang selalu sukses melihat slilit di geraham mertua tapi senantiasa gagal melihat kulit cabe di taring sendiri.
Saya beruntung, atau cilaka -- tergantung sudut pandang, baru saja mengalami kejadian macam itu. Secara sengaja menemukan kesalahan seorang benar di Kompasiana. Kesalahan Daeng Khrisna Pabichara, seorang nabi munsyi di Kompasiana. Bayangkan, nabi munsyi, Kawan. Kurang benar apa seorang nabi, sehingga bisa kutemukan kesalahannya?
Tunggu, tadi kubilang menemukan kesalahan Daeng Khrisna secara sengaja. Apakah saya ini jenis manusia SMS? Tidak, Kawan. Saya memang sengaja, di atas niat baik, membaca artikelnya, "Akibat Meremehkan Bahasa Indonesia, Perdagangan Manusia Makin Marak" (K. 21.01.2020). Lalu, kesalahannya itu genit menampakkan diri padaku. Nah, kalau bukan kesengajaan, lalu apa namanya peristiwa macam itu?
Tapi, harus kuakui, memang betul, menemukan kesalahan orang benar itu membuatku sungguh senang, amat senang, sampai terdungu-dungu. Saya jadi paham, mengapa begitu banyak orang di negeri ini, yang senang mencari akar kesalahan pada presiden setiap ada masalah merundung. Penemuan kesalahan orang lain itu adalah candu, Kawan. Lebih candu tinimbang diari. Serius.
Kawan, kamu pasti bosan membaca paragraf-paragraf awal ini. Bertele-tele sok liris. Kamu sangat bernafsu, ingin aku segera colok mata, membabar langsung kesalahan Daeng Khrisna, bukan? Ya, ya, ya. Aku mengerti isi benakmu sekarang. Kamu juga tipe manusia SMS. Ternyata. (Boleh dilagukan meniru Teh Vina.)
Kesalahan Daeng Khrisna itu kecil, Kawan. Sekecil tanda baca (.) dan (,), ya, titik koma. Betul. Semata kesalahan tidak menyarankan penggunaan tanda baca (.) dan (,), ketika Daeng terkasih itu mengoreksi "bahasa iklan penjualan rumah." Itu iklan hipermini yang kerap kita lihat tertempel di pagar atau tembok rumah.
Dua dari beberapa "bahasa iklan" yang dikoreksinya adalah "DIJUAL RUMAH" dan "DI JUAL JULIE." Markilik, satu per satu.
"DIJUAL RUMAH." Itu salah sedungunya, kata Daeng Khrisna, sebab rumah tak bisa menjual diri. (Kata bercetak miring tambahan dariku.) Seharusnya, yang benar, adalah "RUMAH DIJUAL." Dibalik, selaras Hukum DM Bahasa Indonesia.
Lha, di mana letak kesalahan Daeng Khrisna. Ah, dia lupa konteks bisnis. Itu spanduk iklan penjualan rumah sudah tercetak dan tepampang di tempatnya. Kalau harus mengikuti saran koreksi dari Daeng Khrisna, berarti harus ganti spanduk, dong. Aih, biaya lagi, rugi, Kawan.
Lalu, solusinya? Gampang. Tinggal ambil spidol tahanair, lalu bubuhkan tanda (,) di antara dua kata, sehingga menjadi "DIJUAL, RUMAH". Lihatlah, betapa kuasanya tanda (,) renik itu. Saya heran, kenapa Daeng Khrisna gemar benar mencobai Kompasianer yang lemah iman.
"DI JUAL JULIE." Kasihan Julie, kata Daeng Khrisna, diasong-asongkan di depan rumah. Harusnya, menurut Daeng, dikoreksi menjadi "RUMAH DIJUAL. HUBUNGI JULIE." Begitu tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar.