Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Terbukti Cinta Tak Pernah Mengenyangkan

Diperbarui: 13 Januari 2021   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari cermati.com

Jijay banget rasanya.  Saya harus menulis artikel kategori "Love" ini.  Seperti anak SMP yang keranjingan berbagi kisah kasih pada Di, Ary, atau Diary. Ini penghianatan pada Sang Umur namanya.

Daeng Khrisna Pabichara.  Dialah sumber dari segala sumber ke-jijay-an ini.  Kalau saja dia tak membahas ungkapan "Cinta menyenangkan tapi tak mengenyangkan", saya tak akan pernah menulis tanggapan ini.

Sebenarnya, saya bisa saja melempar tanggungjawab pada Pak Tjip, pencetus ungkapan pemicu gempar itu.  Toh, saya bisa menjadikan diri sebagai korban "nasihat" Pak Tjip, tetua kita di "Kampung Besar" Kompasiana ini. Lalu saya tinggal bilang, dengan nada memelas, kepada Daeng Khrisna, "Lho, kenapa namaku dibawa-bawa, saya ini, kan, cuma korban."

Sialnya, seperti halnya Poltak, bukan tipeku untuk playing victim. Kata Romo Eko Wahyu, OSC, pengkotbah favoritku,  playing victim itu tanda tak bertanggungjawab.  

Saya teramat setuju itu.  Itu sebabnya saya menolak memilih capres dan cagub yang "cerdik" (cerdas-licik) playing victim. Lalu memilih untuk head to head saja dengan Daeng Khrisna, nabi munsyi terkasih yang tengil mencerdaskan itu.

Lagi pula, berlaku dalil "siapa yang bicara dia yang bertanggungjawab".  Saya yang mengujarkan "kata mutiara" itu kepada Daeng Khrisna, maka saya pula yang harus bertanggungjawab.  Dosa kalau minta Pak Tjip bertanggungjawab.

Begini.  Menjawab Daeng Khrisna, saya akan membedah ungkapan "Cinta menyenangkan tapi tak mengenyangkan" dengan menggunakan metode silogisme.  Ini keahlian Daeng Khrisna, sebenarnya.

Ungkapan itu penggabungan dua kalimat dengan konjungsi "tapi", penegas kontradiksi. (Betul, kan, ini keahlian Daeng Khrisna.) "Cinta menyenangkan," dan "Cinta tak mengenyangkan." Dalam bentuk silogisme, "Jika cinta maka senang" dan "Jika cinta maka tidak kenyang."  

Itu tadi dua bentuk silogisme "Jika A maka B" yang bersifat eksklusif.  Tidak bisa disimpulkan: "Senang menyebabkan tidak kenyang."

Daeng Khrisna membantah ungkapan itu dengan membangun silogisme baru, "Jika A maka B jika B maka C."  Dia memberi contoh: "Jika cinta pada makanan maka senang pada makanan.  Jika senang pada makanan maka makan kenyang."  

Hei, yang bikin kenyang itu makanan, bukan cinta. Itupun, makanannya harus dimakan dulu sebanyak mungkin.  Tapi itu jelas namanya congok, bukan cinta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline