Dari perspektif adat Batak Toba, babi itu mahluk paling terhormat sekaligus paling hina. Kontradiktif, memang. Begini penjelasannya.
Dinilai terhormat karena, dalam adat Batak, babi itu berfungsi sebagai ternak adat. Dalam setiap upacara adat, babi disembelih lalu bagian-bagian tertentu dari tubuhnya (kepala/rahang, leher, rusuk depan, paha/pinggul) disampaikan sebagai jambar, pengakuan, terhadap status hulahula, dongantubu, boru, dan suhut dalam komunitas adat.
Artinya, bagian-bagian tubuh babi dijadikan simbol eksistensi Dalihan Natolu, struktur asli masyarakat adat Batak. Karena itu, dalam masyarakat hukum adat Batak babi sebenarnya tidak disebut babi, melainkan pinahan lobu, ternak yang dipelihara dalam kandang.
Tapi, sebaliknya, babi juga menjadi simbol bagi orang yang perilakunya tak beradat. Misalnya perilaku inses. Pelakunya, laki dan perempuan, sama diteriaki "Babi!" Diteriaki begitu karena, menurut penuturan tua-tua adat, inses itu perilaku babi yang tak kenal bapak, ibu, kakak, adik, paman, bibi, dan sebagainya. Pokoknya, "Hajar!"
Lha, ini sebenarnya artikel humor atau budaya, bukan? Ini artikel humor budaya.
Baiklah, kembali ke judul, saat mengikuti ibunya, mengapa anak babi berjalan dengan menundukkan kepala. Masih menurut penjelasan seorang Batak, "Karena anak babi itu malu beribukan seekor babi."
Begitulah bias gender diajarkan melalui humor dalam masyarakat Batak. Hanya ibunya yang disebut. Lupa ayah babi itu, entah di mana pun berada, pasti juga seekor babi. Sudah menghamili sembarang betina di sembarang waktu dan tempat, tak ada tanggungjawab pula pada anak-anaknya. Lebih babi siapa, coba.
Kebiasaan buruk juga, jika seorang anak berperilaku buruk, maka disemburkan uduhan keji, "Dasar ibunya gak bisa mendidik anak!" Lha, bapaknya ke mana?
Baiklah, perlu ditegaskan di sini, humor anak babi menunduk itu adalah penjelasan ngawur seorang Batak yang sedang menenggak tuak di lapo tuak.[1] Boleh dipercaya tapi sebaiknya, "Jangan!" (*)
[1] Lawak "Pakter Tuak"